Sampai...
Setelah memarkir abu, aku ke kamar mandi terlebih dahulu karena selama di jalan sudah menahan pipis dan ini udah ga tahan lagi. untung saja kamar mandinya bersih jadi berani masuk, aaah lega rasanya. Banyak para tukang ojek yang menawarkan jasanya untuk mengantar sampai ke atas bilangnya daripada capek biar cepat sampai atas. Kami menolaknya dengan halur dan memulai menyusuri ribuan anak tangga yang dikanan kiriny dipenuhi oleh pedagang oleh-oleh.
Minggu yang lalu habis kesini dengan rombongan pengajian ibuk dan sekarang kesini lagi. Di tempat yang sama dengan orang yang berbeda dan suasana yang berbeda pula. Banyak peziarah yang datang namun sepertinya ga sebanyak minggu yang lalu. Kami menyusuri anak tangga dan entah berapa kali berhenti dan menenggak air mineral dalam botol.
Di jalan melihay orang penjual strowberry, pengen beli tapi nanti sajalah saat pulang dan masih pengen pentol. membayangkan sebungkus pentol dimakan sambil jalan sepertinya enak walaupun sebenarnya itu ga sopan. Keringat sudah bercucuran, baju sudah mulai basah oleh keringat nafas juga sudah ngos-ngosan namun yongsa masih tampak biasa aja belum menunjukkan lelahnya. Aku berdoa semoga bisa kuat sampai atas. Selama perjalanan rasanya ngantuk, berkali-kali menguap, tidak hanya itu yongsa yang melihatku sudah ngos-ngosan selalu saja menanyaiku capek... capek... terus padahal kan ga boleh ngeluh jika perjalanan seperti ini.
Saat perjalanan ini pikiran sempat berimajinasi dimana saat naik begini dan melihat aku yang kelelahan yongsa menggandeng tanganku untuk membantu menaiki anak tangga. hehehhee..., bisa-bisanya ya dalam keadaan seperti ini berimajinasi sungguh sadis daya hayalku yang tak pernah ada matinya. Menapak setiap anak tangga, perlahan dan selalu semangat agar bisa sampai atas, dan sampai juga ke atas. Senang rasanya bisa sampai atas. Kami istirahat dan kembali pipis sebelum masuk.
Ingin beli dawet seperti kemaren tapi yongsa ga mau, liatin pentol yang masih ngebul ngiler rasanya tapiiii... yongsa ga mau. Dirasa istirahat cukup kami pun ke aras untuk masuk. Belajar dari pengalaman yang kemaren alas kaki kami masukin ke kantong pelastik, memanfaatkan kantong pelastik yang dibeli saat ziarah ke makam Sunan Kalijaga masih tersimpan di tasku.
Untuk masuk ke area makam kita harus wudhu terlebih dulu di tempat yang sudah disediakan barulah masuk ke dalam. Ada banyak peziarah namun tak seramai ketika bersama ibu. Dan ada satu kalimat yang masih aku inget yabg beliau katakan kepadaku dan sekarang aku kesini bersamanya. Terima kasih aku diperbolehkan datang ke tempat ini lagi bersama yongsa.
Di makam kami duduk di tengah, meskipun depan kami masih ada yang kosong namun kami tidak mau membelakangi mereka karena kami datang belakangan. Kami berdoa dan membacakan yasin juga memohon berkah dari beliau. Kembali lagi ada interaksi yang terjadi bahkan aku menangkap sebuah wejangan yang ditujukan untukku. Sesekali aku melihat ke arah yongsa, yongsa begitu tenang dan khusuk. Selesai berdoa untuk beliau kami pun keluar, kami mengisi botol kosong yang isinya habis kita minum di perjalanan.
Kami penasaran dengan bangunan yang kami lihat dari lorong dekat pintu keluar, di lorong begitu banyam kios penjual sifenir. Ada tangga menuju ke bawah dan disana terdapat penunjuk arah untuk sebuah makam, kami penasaran dan mumpung sudah sampai sini kenapa tidak semuanya saja, kami berdua pun menuruni anak tangga untuk ke makam yang ditunjukkan itu. Saat menuruni anak tangga, aku hampir saja jatuh dan dengan sigap yongsa menangkap tubuhku, tidak sampai jatuh dan disanalah pertama kali kami bersentuhan walau itu tanpa sengaja.
Kami mendatangi makam, di jalan menuju ke makam samping kirinya diberi pagar bercat hijau dari besi yang tak begitu tinggi dan ada pintu ada beberapa orang yang melewati pintu tersebut. Kami berdua menuju sebuah bangunan. Sepertinya di dalam ada sehuah makam dan bangunan yang kami lihat dari atas tadi juga terhubung dengan bangunan yang kami datangi saat ini. Bangunan itu terkunci, sebelumnya ada beberapa anak muda disana namun saat kita datang mereka pergi, bukan kita mengusir namun karena mereka sudah selesai.
Bangunan yang kami datangi berbentuk rumah adat yang memiliki dua daun pintu dengan teras yang tak begitu luas. Aku bertanya kepada yongsa mau duduk disebelah mana, yongsa mengajak untuk duduk disebelah kanan. Namum sebelum duduk yongsa mengambil sapu dan membersihkan teras tersebut dari daun dan debu, ini juga agar kami lebih nyaman untuk duduk. Kami duduk bersebelahan memanjatkan doa untuk beliau, tempatnya adem angin yang berhembus dari banyaknya pepohonan yang mengelilingi tempat ini membuat kita betah berada di sini. Yongsa mengatakan ada satu tempat yang ingin ditunjukkan kepadaku namun waktu aku tanya dia ga mau bilang.
Kami beranjak dari tempat itu, Ada yang berjalan dari samping bangunan, karena penasaran kami pun mengikuti jalan setapak di samping kiri ini. Baru beberapa langkah jalan kami berpapasan dengan segerombol anak muda yang baru kembali yongsa bertanya disana ada apa katanya tidak ada apa-apa. Mulai goyah ni antara mau dilanjutkan apa enggak, aku melihat sekeliling hingga pandanganku menangkap pohon besar yang membuatku takut. Aku melihat sosok tinggi besar dan menyeramkan, tak hanya itu di pohon itu begitu ramai banyak anak kecil bermain di dekat sana. Soaok yang aku lihat ini terlihat seram dan pandangannya menatap tajam ke arahku, aku takut. Di dekat kami berdiri juga ada beberapa makam yang kayu nisannya sudah mulai lapun dan diantaranya tertutup kain putih.
Aku mengajak yongsa untuk kembali, nyaliku ciut melihat pohon besar itu. Di pagar yang terbuka kami penasaran jalan itu menuju keman namun saat yongsa bertanya kepada sekelompok orang yang dari sana katanya tidak ada apa-apa, mungkin pintu itu dibuat untuk memudahkan penduduk yang tinggal di sekitar sana untuk masuk ke area makam. Aku sempat berkata kepada yongsa tentang mimpi yang aku lihat dimana aku sedang berjalan menanjak dimana jalan itu masih tanah dan di samping kanan jurang sedangkan disamping kiri seperti perbukitan yang masih tanah, apakah tempat yang aku lihat itu ini (sambil menunjuk tanah tinggi yang ada di depanku). Yongsa ga yakin, bisa saja iya namun bisa juga ada tempat lain.
Kami kembali dan melihat-lihat dagangan yang dijual di kios disepanjang lorong yang menuju keluar. Aku mencari tasbih kecil yang bisa digunakan untuk gelang, ini pesanan dari teman yang bila berziarah minta tolong untuk membelikan. Aku mencari namun tak ada yang cocok, kebanyakan berjumlah kurang dari 33. Ada yang jual tapi beljm mendapat harga yang pas saat menawar makanya itu kami pergi mencari ke kios lainnya namun ga ketemu.
Kemaren saat pergi bersama ibu aku melihat tasbih panjang, ingin beli 2 buat kembaran dengan yongsa namun ragu dan saat aku bertanya dalam hati meminta pendapat yongsa sepetinya tidak sampai sehingga aku ga jadi beli dan sekarang aku cari tasbih yang sama tidak ketemu. Surah mencari sampai ke ujung namun tidak ada penjual barang yang sama maka dari itu kami kembali ke kios seorang ibu yang menjual tasbih gelang. Yongsa kalau menawar sudah melebihi emak-emak namun tetap saja ga di kasih sampai akhirnya yongsa berkata kepadaku jadi beli apa enggak ini sidah di tunggu. Aku bingung yang dimaksud di tunggu itu gimana dan siapa menunggi siapa...???! Aku benar-benar binging, langsing saja yongsa membayar dua tasbih dari kayu itu dan mengasihkan kepadaku lalu mengajakku pergi.
Sudah di tikungan menuju ke bawah, namun yongsa tidak mengajak turun melainkan jalan lurus. Aku kira yongsa ingin mengajak turun naik ojek namun sekali lagi perkiraanku salah. Ini menarik karena setiap tanjakan selalu ada jalan bercabang yang mengarah lurus dan ke atas. Di salah satu pohon yang aku temui di jalan ada papan penunjuk arah, makam pangeran gading, gadung dan seorang wanita tapi aku lupa namanya siapa. Waktu aku tanya kita kemana yang lurus apa keatas, kata yongsa ke yang lurus saja dulu. Saat aku tanya alasannya katanya bila kita berkunjung tentunya yang di datangi adalah yang lebih tua terlebih dahulu, dari yang yang tua ke yang muda. Alasan itulah yang membuat kami untuk datang ke makam di depan terlebih dahulu sebelum ke atasnya.
Makam Pangeran Gadung, yang menurut cerita adalah paman dasi Sunan Muria ini berada di berada di dalam rumah dengan halaman yang dikelilingi pagar tinggi. Dari pintu masuk aku melihat makam tampa marmer sementara di sebelahnya makam besar dengan batu marmer dan diberi pagar dari kayu. Dari awal aku melihat ke makam yang tepat berada di depan pintu, agak heran juga kenapa pintu segaris dengan makam... itu yang menjadi pikiranku dari awal melihatnya.
Makam itu menyita pikiranku, itu makam siapa...?! Kami di sambut juru tamu yang masih tiduran di pojok ruangan, yongsa yang pernah kesini terlihat sedikit akrab dan anehnya dari awal sepertinya juru kuncinya ini ga suka kepadaku, aku juga ga begitu srek dengan beliau aku ga tau kenapa bisa begitu. Kami utarakan niat kami kesini untuk ziarah, dan kami pun dipersilahkan untuk berdoa di makam pangeran Gadung. Kami duduk bersila memanjatkan doa, selama berdoa angin yang berhembus sangat kuat sampai masuk ke dalam melalui sela-sela bangunan. Padahal saat berjalan kesini sampai kami ada di dalam tidak ada anhin sekuat dan sesering saat kita berdia berada di depan makam. Ada getaran yang sangat kuat dari tanganku, selesai berdoa ada keinginan untuk menyentuh pagar yang mengitari batu nisan, saat menyentuh itulah angin yang berhembus semakin kuat dan terus menerus, ada getaran kuat dari ganganku hingga badanku lemas.
Kita duduk dekat dengan tempat istirahat juru kunci. Juru kunci itu bertanya darimana..., dan yongsa juga bertanya tentang makam Pangeran Gading yang ada di atas, juru kuncinya itu mengatakan sekarang disana dikunci karena ga ada juru kuncinya, bila ada yang mau berziarah ya nunggu dibuka tidak setiap hari makam itu dibuka karena menghindari orang-orang yang ga bertanggung jawab yang masuk ke makam. Dan ternyata juru kuncinya ya juru kunci yang sekarang ngobrol dengan kami ini. Setiap aku tanya tidak di jawab, sedangkan jika yang tanya yongsa meskipun dengan pertanyaan yang sama selalu di jawab bahkan perkataanku ga seakan ga pernah di dengar.
Pandanganku tidak fokus ke juru kunci melainkan ke makam yang ada di depan pintu, sepertinya juru kincinya itu tau dan sedikit banyak tau apa yang sedang aku pikirkan. namun karena ia hanya mau berbicara dengan yongsa makanya aku diam mendengarkan saja. Karena sudah tidak ada yang ditanyakan kami pun undur diri berpamitan dan berlalu darisana namun tidak pulang melainkan ke atas.
Aku tidak mengerti kenapa yongsa mengajakku ke atas sedangkan disana makamnya bukannya tutup..., tapi kata yongsa sudah sampai sini tidak ada salahnya untuk sekalian kesana dan kita bisa berdoa di luar. Ooow begitu, iya juga seh. Kami pun berjalan menyusiri jalan yang masih tanah dengan semak belukar disamping kanan kiri, namun aku juga melihat perkebunan. Masih benar-benar alami, dijalan kami melihat batu besar yang ada dj bawah pohon dan darisana aku melihat kera-kera yang masih liar. Aku takut jika tiba-tiba kera itu datang dan mengambil barang bawaan namun yongsa menenangkan dengan mengatakan ga apa-apa akan aman, keranya tidak nakal.
Tak lama perjalan untuk menuju ke makam Pangeran Gading disana ada seperti pekarangan dengan rumah berbentuk panjang dengan tiga pintu. Awalnya aku kira itu rumah penduduk namun ternyata itu adalah makam yang kita tuju. Di dalam berjajar beberapa makam yang ditutup dengan kain putih. Ruangan yang tidak terlalu luas bahkan bisa dibilang sempit, mungkin bila ada peziarah akan mengirimkan doa dari luar. Di luar ada teras kecil. kami duduk bersila bersebelahan. Meskipun dk luar namun kami tetap mencopot sepatu. Sama seperti sebelum-sebelumnya terdapat getaran di tanganku dan anehnya ketika memejamkan mata ada sekelebat bahang dan aku mendengar suara seperti yongsa yang ingin tidur di pangkuanku, langsung saja mataku terbuka dan melihat ke arah samping yongsa sudah mengenakan sepatu lantas siapa yang bicara barusan....??!
Tak lagi bisa konsentrasi, akupun menyudahinya dengan doa dan terima kasih. Kami berdua berdiri untuk berpamitan, aku berasakan tangan yongsa yang menyentuh tanganku dan secara sepontan aku menarik tangaku dengan membenarkan letak tas yang aku bawa.
Kita kemana lagi....
Yongsa sendiri juga tidak tau, di depan makam ada jalan setapak menurun, karena penasaran dan sudah sampai sana maka dari itu kami pun turun untuk melihat ada apa dibawah. Selama perjalanan kami melihat bebrapa makam yang sudah rata dengan tanah dengan batu nisan yang tertutup kain putih, ada hang batu nisannya hanya sedikig terlihat kami permisi numpang lewat kepada beliau.
Jalam menurun yang masih tanah kering yang licin, takut terpeleset aku saat jalan apa lagi sepatu yang aku pake sedikit licin untung saja ada ranting kering yang bisa diginakan untuk pegangan juga beberapa pohon yang sepertinya memang di gunakan untuk pegangan orang yang lewat sana. Dibawah kami melihat dua pasang makam yang legaknya sepasang di atas dan sepasang lagi agak dibawah. Aku bertanya kepada yongsa mana dulu, yongsa juga agak bingung bila mengginakan cara persimpangan harusnya yang bawah terlebih dahulu, namun bila dilihat dari batu nisannya lebih lamaan yang di atas. Bukannya seharusnya yang tua terlwbih dahuli baru yang muda..., menimbang dari itulah makanya kami mendekat ke makam yang ada di atas terlebih dahulu.
Bingung mau duduk di sebelah mana, akhirnya kita duduk di dekat pondasi pemisah makam yang ada di bawahnya. Agak serem juga takut jatuh, sampai aku sempat berpegang kepada yongsa setelah melihat ke bawah karena phobiaku tiba-tiba muncul. Disela kami berdoa aku merasakan ada seseorang yang lewat, tepatnya perempuan yang lewat dari arah belakang menuju ke sebelah kanan yongsa. Perempuan berpakaian kebaya jawa yang sangat anggun dan cantik, beliau tersenyum. Karena kaget aku yang tadinya menunduk langsung melihat sekeliling.Aku melihat yongsa masih konsen sementara aku sudah buyar dan hanya menunggu yongsa sambil mengirimkan doa sekali lagi untuk beliau.
Selepas dari makam atas kami ke makam bawah. Kali ini kami duduk bersebelahan dengan kaki yang dilipat kesebelah kanan sementara yongsa ke sebelah kiri, karena jika kakinya di tekuk entar kesemutan malah bingung saat berdiri. Kami khusuk berdoa namun suasana hening menyelimuti tempat ini, aku hanya mendengar suara gemericik namun setelah aku cari ternyata suata air yang mengalir dari pipa hang tertempel di dinding pembatas.
Aku coba konsentrasi lagi dan berdoa, namun doa belum selesai sepertinya aku melihat sosok perempuan berdiri di antara aku dan yongsa, aku tidak tau kapan beliau jongkok namun secara tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu di kaki kananku. waktu aku lihat beliau seperti habis mengikat kaki kananku dan saat yang bersamaan aku juga melihat kaki kiri yongsa diikatnya juga dengan tali yang terhubung dengan kakiku. Aku coba bertanya pada beliau itu apa dan kenapa namun hanta senyum dan beliau langsung pergi.
Yongsa lama berdoa seletal selesai darisana aku dan yongsa berpamitan lalu pergi. Naik untuk pulang. Saat melewati makam Pangeran Gading kami berpamitan dan berterimakasih lalu kami pun berlalu dari tempat itu. Di persimpangan selanjutnya yongsa bertanya kepadaku mau naik apa turun..., menimbang waktu yang sudah sore maka aku mengatakan untuk pulang saja takut kemalaman di jalan dan kami pun kembali menyusiri jalan yang tadi sudah kami lalui. Selama perjalan turun kami banyak bercanda. Melihat pemandangan dari sana bagus, aku beberapa kali mengabadikan pemandangan itu dalam jepretan kamera hp.
Sebenarnya yongsa ga suka aku pegang hp saat pergi sama dia, amungkin di pikirnya aku masih meladeni untuk menjawab chat atau juga chat dengan teman yang lain. Yongsa tidak suka begitu biarlah saat bepergian begini hp tetap berada di tas. Padahal aku saat bepergian begini sudah tidak mempedulikan adanya chat yang masuk, aku mengambil hp hanya untuk memfoto pemandangan atau pun sesuatu yang menurutku menarik bukan untuk chat dengan teman. Aku mengambil gambar juga bukan untuk narsis ya kadang-kadang kalaj keluar narsisnya juga narsis deng tapi seringnya mengambil gambar dari obyek yang ada di sekelilingku untuk dokumentasi juga sebagai bahan tulisan di blog ku. Aku lebih memilih menikmati pemandangan atau situasi dimana aku sekatang berada terlebih saat berada di alam ketimbang chat dengan teman yanh bahasannya ga penting. Soalnya aku juga ga begitu menyukai chat biasanya hanya sewajarnya dan seperlunya saja. (20/10/15)
★Ell