Berperang melawan diri sendiri, memang tak mudah namun itulah satu-satunya semangat yang bergelora selain membagi senyuman ataupun memberikan apa yang bisa aku dapat untuk mereka. Sungguh tak mudah berperang melawan diri sendiri apa lagi saat itu tak ada satu orangpun yang bisa aku jadikan tumpuan. Jangankan sebagai tumpuan bahkan aku tak melihat orang lain disampingku, bagai terpenjara sepi dan berteman gulita. Mereka hilir mudik melewatiku namun tak satu pun yang menyadari keberadaanku.
Bagaimana pun aku teriak memanggil mereka namun tak satupun orang yang menoleh kepadaku. Apakah mereka terlalu sibuk hingga mengabaikanku atau memang keberadaanku tak di inginkan mereka hingga mudah saja menganggapku tak ada. Aku terpenjara dalam kesendirian, beberapa kali aku mengetuk pintu rumah orang yang sekiranya aku kenal dan bisa dimintai pertolongan namun setiap sampai di depan pintu jari ini tak berani untuk mengetuk pintu itu. Berdiam dan menimbang apakah di dalam ada orang atau kah penghuninya masih bepergian. Sekali lagi ingin mengetuk tapi urung juga dan memilih beranjak pergi kembali ke rumahku yang sunyi.
Bingung, kali ini aku coba melangkah kembali menuju rumah yang aku datangi. Mengetuk pintu beberapa kali namun tak ada jawaban, hanya diam menunggu di depan pintu. Lama aku berdiri disana namun yang punya sepertinya masih pergi. Aku memilih kembali dan melupakan rumah yang baru aku datangi namun tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku, ya itu suara pemilik rumah yang baru saja aku tinggalkan. Ternyata benar dia tidak dirumah, baru kembali ketika hari sudah mulai gelap. Dia mempersilahkanku masuk, aku lihat sudah banyak yang berubah. Dia mulai obrolan dengan menanyakan kabarku karena sudah lama tak jumpa, dan melihat wajahku sepertinya tanpa aku jawab dia sudah tau.
Aku mulai bercerita, untuk meringankan sesak di dada dan meminta solusi bila ada. Namun sangat disayangkan tak ada tanggapan dari cerita yang baru saja aku dendangkan, dia hanya mendengarkan. Tanggapan yang tak sesuai perkiraanku, dia sudah berubah dan memang seharusnya aku tak datang kemari. Satu penyesalan kecil datang dalam diriku, lalu aku pun berpamitan dan pergi meninggalkannya yang masih terpaku diam di tempatnya semula. "Harusnya aku tau bakal seperti ini..." Dia sudah berubah, mungkin memang sudah nasipku seperti ini.
Setiap malam tiba sedikit waktu aku sisihkan untuk mengulang segala kejadian yang telah aku alami. Mencoba menimbang dan melihat dari sisi yang berbeda, untung nalarku masih jalan dan merespon membantu dalam menganalisa setiap kejadian yang aku ulang dari sisi yang berbeda. Tak jarang aku juga melihat dari beberapa sisi yang lain untuk mencari alasan dari setiap kejadian namun dengan begitu setidaknya aku memiliki gambaran tentang alasan-alasan dari setiap orang yang ada dalam peristiwa tersebut, meskipun itu lewat fersiku sendiri. Dari sana aku mulai berpikir, mengembangkan alasan untuk menenangkan jiwaku yang luka. Penuh perdebatan, ternyata tak mudah berargumen dengan diri sendiri.