Tuhan menghadirkan orang-orang baru dalam hidupku mungkin inilah rencana cadangan yang Tuhan buat untuk mengubah hidupku, dari teman yang memberikan berita yang tak ingin aku dengar karena itu membuatku bertambah down. Ketika mendengar berita itu aku sungguh marah, mengapa mereka sejahat itu denganku. Aku ga terima, menurutku semua adalah satu konsekuensi dari sebuah keputusan jadi mereka tak bisa memaksakan keinginannya kepadaku dan itu tak sekali aku dengar hanya saja sebelum-sebelumnya tak aku hiraukan apa kata orang namun melihat kenyataan yang tak seindah mimpi apakagi ketika diurai perkataan mereka dan rentetan kejadian sambung menyambung seperti sebuah jawab dari tanya yang tak terucap, inilah yang mebuat anggapan bahwa omongan mereka benar bahkan tak hanya satu dua orang yang mengatakan, aku mendengarnya bertubi-tubi mereka berbicara hal yang sama, semakin kecil dan serasa tak punya daya untuk bernapas.
Ingin berontak namun kepada siapa..., "nasi sudah jadi bubur" tak ada yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki kesalahan mungkin bisa dibilang salah paham. Aku tak tau apakah dasar kemarahanku ini... Karena mereka atau karena rasa sesak yang selama ini menghimpit dari sebuah pertahanan yang aku lakukan dari kepergiannya yang begitu saja sedangkan aku masih sangat tergantung padanya. Hingga sempat aku bertanya pada diriku sendiri kesalahan apa yang sampai membuatnya pergi... Tapi ingin bertanya kepada siapa jika orang yang dimaksud sudah tak disini. Entahlah... Aku tak yakin alasan pertama atau kedua yang membuatku begini.
Kejadian-kejadian yang datang silih berganti dimana semua orang-orang yang ada di sisihku satu persatu menghilang, pergi meninggalkanku sendiri. Aku kesepian, tak ada yang bisa aku lakukan. Sekedar untuk memahon mereka jangan pergi pun aku tak mampu, selalu tak berdaya untuk membujuk mereka untuk tetap tinggal. Ketika ku ingin bercerita kepada seseorang yang aku pilih dan pikirku dia bisa membantuku dan akan memberikan suntingan energi untukku namun bukan sebuah solusi yang aku dapat melainkan hanya diam.
Aku ga butuuuh, coba tampar aku biar aku sadar. Aku tak ingin dikasihani juga namun yang aku inginkan hanya agar aku bisa sadar, ajaklah aku berdialog, tolong salahkan aku, bantu aku untuk mengalahkan ego yang saat ini menguasai diriku. Tapi semuanya membisu, tak tau lagi harus bagaimana karena orang yang menurutku bisa menolongpun tak memberikan respon. Apakah aku harus mengais-ngais iba kepada mereka, Tuhan mengapa begini...
Perlahan aku mulai menutup akses. Hari-hariku hanya habis dengan kesendirian, merenung dan meratapi apa yang terjadi yang belum bisa aku terima akal sehatku, namun untuk berontak pun merasa tak mampu. Hinaan dan direndahkan sempat aku alami bahkan itu dilakukan oleh orang terdekatku. Ciut nyaliku, semakin mundur dari peradapan diluar sana. Semua orang sama saja, dari sana aku mulai coba mengandalkan diri sendiri. Membangun benteng, menggembleng diriku sendiri dan berteman dengan diriku juga. "Aku tak membutuhkan orang lain akan ku lakukan sendiri" itulah pikirku karena aku tak ingin ada luka-luka yang lain sedangkan luka lama pun belum sempat aku pulihkan. Tak ingin ceritaku hanya dianggap angin lalu.
Padahal aku membutuhkan pegangan saat itu, tapi...., mungkin orang yang aku tunjuk bisa membantu juga masih sibuk. Hingga tak merespon sinyal dari cerita yang berkumandang ketika itu. Baiklah aku akan diam, mungkin benar adanya hanya bayang-bayang masa lalu, kesunyian dan kesendirian lah teman sejati. Mengunci diri, menikmati kesendirian dan kesepain dalam ruangan yang tak begitu besar. Di ruangan sempit inilah aku merasa nyaman, hanya dinding kamar yang sudi mendengarkan ceritaku dan entah berapa banyak air mata yang keluar untuk membebaskan sesak dadaku.
Dari sini aku mulai memupuk harap yang tak pasti, satu hal yang sepertinya mustahil. Berharap pada satu keajaiban akan datang, aku punya dunia imajinasi dimana hanya skenariokulah yang berjalan. Indah dan hanya itulah penghiburanku. Aku sudah tak peduli dengan dunia diluar sana yang riuh dan gemerlapan bahkan aku sudah seperti hidup di peradapan tahun 70an dimana televisi sudah seperti pajangan dan handphone hanya menjadi penghias meja, tergeletak begitu saja dan coretan-coretan yang aku buat juga tidak tersimpan di notepad melainkan dalam lembaran kertas diary seperti dulu.