12/22/2014

Metamorfosis ~ Beranjak

Aku pikir mereka semua tak ada yang peduli denganku hingga tak mau membantuku bebas dari ruang pengap, gelap dan sempit yang sesekali membuat napasku sesak. Namun semakin kesini aku sadar bahwa itu bukan salah mereka, namun akulah yang terlalu tinggi membangun benteng pertahanan sampai mereka tak berani mendekat. Karena luka, dan rasa takut terjadi hal yang sama hingga pertahanan demi pertahanan aku buat sampai lupa merancang pintu dan jenda untukku bernapas. Ya benar memang aku lah yang congkak, karena sifat ketergantungan yang masih melekat padaku itulah yang membuat hidupku serasa runtuh, tak siap menghadapi apa pun sendiri.

Tak menghiraukan siapa pun yang datang untuk membantuku, aku mengacuhkannya, mengesampingkan orang yang berniat baik karena rasa tak yakin mereka bisa mengurangi sedikit bebanku dan berpikir hanya kata sabar yang akan ku dapat dari setiap cerita bila aku uraikan. Terlebih aku bukan orang yang mudah cerita apa yang sedang menjadi ganjalanku kepada siapa saja yang dekat denganku, aku lebih memilih untuk menyimpan semuanya sendiri, dan apesnya pikiranku tak pernah mau diam. Selalu mencari dan mencari apa pun yang bisa membuatnya berpikir. Capek mengikuti apa maunya, memilih berdamai dengan naluri.

Namun entah dorongan dari mana pertama kali aku bisa bercerita kepada orang lain, pagi itu ditemani segelas kopi hitam yang sudah mulai dingin, hal yang tak pernah aku lakukan selama hidupku karena memang aku bukan penggemar secangkir kopi. Aku mulai bercerita tentang hal yang tak bisa dinalar logika bahkan ceritaku juga membuatnya berkidik tak percaya yang sedikit keluar dari nalar manusia. Tentang potongan puzzle, kentang rasa hampa, penantian, kekecewaan dan pengharapan. Saat itu yang aku ceritakan hanya potongan puzzle tak lebih, namun cerita itulah yang membuka dan membuatnya penting karena telah sudi menceritakan sesuatu setelah pertemanan kita bertahun-tahun.

Meskipun tak mengerti, tapi ia tetap saja mendengarkan ceritaku sampai selesai dan memberikan satu pelukan hangat dari jauh. Sebagai rasa simpatinya untukku. Itulah sebenarnya yang aku butuhkan sebuah pelukan yang membuatku tenang untuk merasakan keberadaannya. Aku membutuhkan seseorang sebagai pendengar, yang berani menampar dan beradu argumen dengan pedasnya untuk mengingatkan aku, sekedar menyadarkan bahwa sikap yang aku ambil itu salah, bahwa aku tak boleh meremehkan terlebih mengasihani diriku sendiri, ga boleh. Aku harus tegar, kuat menghadapi apa pun rintangan yang datang menghadang di depan mata.

Dari sana perlahan aku mulai bangkit, percaya dengan satu keindahan yang akan datang suatu hari nanti. Aku akan mengubaah takdirku, mencari belas kasihan kepada Tuhan agar sudi merevisi skenario yang sudah dibuatNya. Dan untuk itu aku harus bisa mengambil hatiNya, itulah yang ada dalam pikiranku. Perubahan untuk sesuatu yang baru, perlahan namun pasti akan aku rasakan setiap proses yang terjadi. Semuanya demi masa depan dan diriku yang baru.