5/26/2017

Perjalanan yang ditunda

Puasa bulan ramadan tinggal selangkah lagi, besok malam sudah tarawih, ya walaupun ketentuan puasa menunggu sidang isbat dari pemerintah. Sudah beberapa hari ini tetiba ingin pergi ke Demak, berkunjung ke makam Raden Fatah. Ada rasa aneh yang sudah aku rasakan beberapa minggu belakangan ini, tapi aku ga ngerti kenapanya ya mungkin aku yang kurang peka sehingga tidak bisa menangkap dan tidak bisa menerjemahkan apa yang aku rasakan. Awalnya aku kira apa karena sudah lama tidak datang ke sampookong tapi ketika kesana aku malah merasakan kosong (bukan), setiap melewati jalan yang dekat dengan makam umum berguto keingat eyang soleh darat tapi sepertinya juga bukan ingin kesana dan baru beberapa hari ini ketemu jawabnya yaitu ingin main ke Demak.

Seperti ada kangen. Gimana ya menerjemahkannya... intinya seperti orang tua yang sudah lama tidak bertemu anaknya dan berharap sang anak untuk datang sebentar menjenguk (kira-kira seperti itulah penjabarannya, soal rasa memang terkadang susah untuk dipahami bahkan dijabarkan secara jelas). Demak tidak begitu jauh juga bisa dibilang tidak dekat. Aku coba mengenali yang terjadi, tapi ada hal yang akan diperlihatkan saat berjumpa. Ya, aku bisa kesana sendiri dan tiba-tiba saja ada keberanian untuk berangkat kesana sendiri, ada gambaran jelas yang bisa aku lihat ditambah keyakinan yang tinggi dimana aku bisa sendiri. Aku ceritakan hal ini ke yongsa, yongsa tidak melarang juga tidak meng-iya-kan, mungkin yongsa takut ada apa-apa secara disana juga ramai dan jauh. Aku berpikir ulang, meskipun sudah yakin bisa berangkat sendiri bahkan sudah menemukan waktu dan pakaian yang cocok untuk dikenakan kesana namun kembali aku pikir ulang, berbincang dengan rasa. Okeh, daripada bingung aku putuskan bila di ijinkan dan dikehendaki untuk datang maka besok aku akam berangkat.
***

Keesokan harinya kerika bermain dengan pikiran aku mendapat ketenangan. Sepertinya perbincangan semalam menjadi pertimbangan tersendiri. Dimana kedaranganku di undur setelah lebaran.
Dalam perbincangan semalam ada obrolan yang sedikit menggelitik dan itu juga baru aku sadari pagi ini, dimana ada pemikiran "aku bisa saja datang sendiri toh sudah berkali-kali hanya sekedar lewat ataupun menyempatkan datang kesana, tapi masak iya yongsa sedang tidak disini lalu aku pergi sendiri. Seperti seorang suami yang lagi pergi, seharusnya sang istri duduk manis di rumah menunggu suami darang bukan malah ketika suami pergi si istri juga ikutan pergi. Seperti bebas pergi jalan-jalan sementara suaminya tidak di rumah, dan tidak seharusnya seperti itu. Seperti tidak menghargai suami, tidak berperasaan suami pergi malah ikut-ikutan pergi senang-senang (perumpamaannya seperti itu), itu tidak dibenarkan walaupun sudah mendapatkan ijin". Memilih nanti saja soan setelah lebaran bareng yongsa, dan ini membuatku sedikit nyaman. Rasanya ceeeeees....

Secara tidak langsung seperti ujian yang dihadapkan pilihan beserta penjabarannya.

Saat mengingatnya tergelitik sendiri, "kenapa ada pemikiran sampai sejauh itu..."  Tapi sikap seperti itu benar bila sudah berumah tangga, dimana tidak dibenarkan untuk pergi bersenang-senang ketika suami sedang tidak di rumah. seperti memanfaatkan 'aji mumpung', mumpung suami tidak dirumah main ajah daripada dirumah sendirian bete (itu bukan alasan ya), tapi kok ya ga nyampe mau seperti itu. Ya ga tega aja sebenarnya. Dari pemikiran seperti itu makanya aku tunda, perginya nanti saja dengan yongsa tidak terlalu mendesak dan sudah di ijinkan untuk di undur.

Bila aku berangkat sendiri paling cuma ke makam Raden Fatah lalu pulang, kalau sama yongsa bisa sekalian ke makam Sunan Kalijaga dan bisa sekalian ke yang lain. (26/05/17)