6/27/2015

Indra ~ Obrolan Tanpa Solusi

A : "Gi apa mas"
I : "Lagi nyantai rokokan ini sendirian"
A : "Halah rokokan"
I : "Mau berhenti belum bisa adek hehehe. Dari pada orang ngeliat aku lagi duduk-duduk bengong mendingan rokokan sama chat. Paling-paling kalau sudah punya istri dirumah istirahat, ngobrol sana sini sambil bercanda pikiran fresh . Ya untuk sementara ini cuma rokokan aja sambil istirahat"
A : "Kalau mau berenti jangan langsung. Di kurangi aja dikit-dikit tar lama-lama juga bisa asal konsisten. Hahahhaa...Selalu pembicaraan ke arah sana"

Sahasan yang selalu berujung pada satu keinginan terpendam dan sepertinya menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Kadang malas juga ngobrol yang seperti ini, bagaimana pun dibahas disangkal ataupun dicari kerumitannya dari permasalahan padahal tetep saja ga ada yang bisa dirubah. Lalu kenapa juga harus di bahas, enapa juga menjadi pikiran bila sudah tau sumber permasalahan dan tau persis jawabannya.

I : "Iya ini sementara dikurangin lhoo, dari sebungkus isi 18 dihisap satu-satu lama-lama habis ngurangin hehehehe. Yaa emang itu endingnya. Kliatannya lihat orang yang baru nikah gitu"
A : "Terlalu mentarget. Nikmati aja mas ga usah di ambil pusing tar juga kalau sudah waktunya pas juga ketemu"
Jujur sebenarnya aku ga nyaman dengan pembicaraan ini karena bagaimanapun ga akan ada gunanya. Hanya buang tenaga bahkan malah tak jarang bikin kesel sendiri.
I : "Ya kan diketerangan ditulis, alau ga berusaha gak mungkin laah. Apa mas mau juga sama wanita yang datang tiba-tiba mau ngajak nikah. Gk mungkin kaan......? Kecuali kita sesikit pernah mengenalnya hehehe"
A : "Tapi mas terlalu fokus kesana deh. Kaya udah mau kiamat"
I : "Iya sepertinya mas fokus dan fokus sama hal itu. Padahal pagi-pagi tadi mas diceramahin sama kawanku"
A : "Jangan terlalu tokus sama satu tujuan. Klo menurutku menemuka  teman hidup itu sebuah hasil dari perjalanan, tujuan utama bukan lah itu sebenarnya.
I : "Aku tadi kirim nasehat temen di WA adek. Coz di bbm ga muat"
MENIKAH DAN BERPUASA
Sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika hendak menikah, saya mendatangi guru saya untuk meminta nasihat tentang pernikahan.
Sebagai seorang laki-laki, ada sejumlah kebimbangan dalam hati saya. Di satu sisi, saya ingin segera menikah karena saya merasa sudah menemukan ‘jodoh’ saya. Di sisi lain, saya masih merasa belum mampu menjalani pernikahan tersebut—terkait kesiapan mental, kesiapan batin, terlebih kesiapan materi karena barangkali kelak saya yang akan memegang tanggung jawab finansial lebih besar dalam rumah tangga.
“Kalau kamu belum mampu menikah, berpuasalah!” Kalimat itulah yang pertama kali diucapkan guru saya setelah saya menceritakan semuanya. Dingin dan datar.
Rasanya saya ingin bertanya, apakah puasa akan menyelesaikan masalah-masalah yang saya keluhkan? Apakah puasa akan membuat saya siap secara fisik, mental, batin, bahkan finansial? Namun, saya tak berani mempertanyakan semua itu kepada guru saya, hingga saya menanyakan hal lainnya—
“Saya mengerti tentang bahwa kita harus menahan diri, Kiai, menjaga pandangan dan kehormatan,” ujar saya, berusaha memberanikan diri, “Tapi saya ingin menikah bukan karena saya tidak bisa menahan nafsu seksual saya…”
Guru saya mendelik, “Kamu belum siap untuk menikah, Nak,” ujar guru saya, “Maka berpuasalah!”
Ada yang berontak dalam diri saya. “Ini soal lain, Kiai. Lebih ke soal bahwa saya khawatir saya belum siap membimbing istri saya atau menafkahinya secara materi. Bukan tentang hasrat seksual yang tak bisa saya tahan. Mengapa saya harus berpuasa juga?”
“Jangan remehkan perkataan nabimu!” Kata guru saya lagi, kali ini dengan suara agak meninggi. Saya tahu nasihat itu beliau ambil dari hadits Nabi. Tapi, saya bukan sedang ingin meremehkannya. “Berpuasalah!” Guru saya tetap pada perkataannya.
Saya tak ingin mendebat lagi. Maka saya menjalankan nasihatnya.
Bulan demi bulan, berganti tahun, saya tak kunjung menemukan solusi dari kecemasan saya selama ini. Niat menikah saya justru makin kendur karena kian tak yakin apakah saya siap menjadi imam untuk istri saya, apakah saya siap bertanggungjawab pada seluruh aspek kehidupan keluarga saya nanti?
Maka saya mendatangi guru saya lagi.
“Saya sudah berpuasa, Kiai,” ujar saya, “Tapi tak ada perubahan!”
Guru saya menatap mata saya, “Perbaiki kualitas puasamu,” ujarnya, “Kamu hanya berpuasa untuk menahan nafsu makan dan nafsu seksualmu!”
Deg! Tiba-tiba saya menyadari bahwa selama ini saya hanya menjalani puasa yang kekanak-kanakan tanpa benar-benar menghayati apa sesungguhnya pelajaran di balik semua itu.
“Jadi, apa yang harus saya lakukan dengan perintah itu, Kiai?”
“Berpuasalah seperti kamu menjalani puasa Ramadhan,” jawab guru saya, “Berpuasalah seperti seseorang yang kamu memperbaiki kualitas-kualitas dirimu selama menjalani puasa itu. Berpuasalah seperti seseorang yang ingin mengubah dirinya dari seekor ulat menjadi kupu-kupu.”
Saya terdiam. Tak bisa berkata apa-apa selain menyadari bahwa selama ini saya berpuasa tetapi tak memperbaiki kualitas diri saya.
“Apa yang perlu kamu lakukan untuk kuat berpuasa, Nak?” Tanya guru saya.
“Saya sahur, Kiai,” jawab saya.
Guru saya mengangguk-angguk, “Sahur mengajarimu tentang persiapan dan perencanaan. Mungkin kamu akan kuat berpuasa seharian tanpa sahur. Tetapi dengan bangun sahur, kamu melatih dirimu menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Kamu mempersiapkan dirimu untuk menjalani puasa sebaik mungkin. Kamu menghitung apa yang perlu kamu makan saat sahur sehingga kamu kuat menjalani aktivitas terberat sekalipun saat berpuasa. Jika sahurmu baik, maka kamu akan siap melakukan yang terbaik dalam puasamu.”
Saya mendengarkan perkataan guru saya dengan seksama, rasanya ingin mencatat semuanya—
“Puasa bukan hanya melatihmu tentang kesabaran. Ia juga melatihmu tentang kejujuran dan rasa hormat. Nilai-nilai itulah yang penting kau miliki saat berumah tangga. Apa gunanya berpuasa tetapi kamu tak menjalani puasa itu? Apa gunanya menahan haus dan lapar tetapi kamu hanya tidur seharian? Itulah mengapa semua aktivitas yang kau lakukan selama puasa memiliki nilai yang berlipat ganda, jika kau menyadari betapa penting semuanya untuk meningkatkan kualitas dirimu sebagai seorang manusia.”
Saya tak bisa berkata-kata lagi.
“Kelak jika sudah saatnya, kau akan berbuka. Itu bukan tentang melampiaskan nafsumu. Bukan tentang membayar semua lapar yang kau tahan seharian. Buka puasa mengajari kita dua hal. Pertama, ia adalah tentang menyadari bahwa diri kita punya batas-batasnya. Kita tak bisa terus-menerus menahan lapar dan haus, kan? Maka kita perlu makan. Batas itu mengajari kita sikap mawas diri. Kedua, buka puasa juga mengajari kita tentang merayakan kebahagiaan. Percuma saja kualitas dirimu meningkat selama puasa jika kamu tak memberi ruang pada dirimu sendiri untuk berbahagia. Dua hal itu kelak penting untukmu saat kau berumah tangga.”
Saya tertegun. Ada yang tertahan di tenggorokan. “Rupanya saya harus memperbaiki puasa saya, Kiai. Agar saya siap.”
Guru saya tersenyum. “Kau kira anjuran berpuasa saat kau belum siap menikah tak berhubungan dengan semua aspek yang selama ini kau keluhkan, termasuk soal kemapanan hartamu? Nak, cobalah terapkan prinsip sahur-puas-buka dalam usahamu seperti yang sudah aku jelaskan tadi. Jika tak ada perubahan apa-apa dalam hidupmu, baru kau bisa mempertanyakan perkataan nabimu!”
Seketika, ada yang bergemuruh dalam hati dan pikiran saya. Jika saya ingin siap menikah, saya harus memperbaiki semuanya. Saya baru menyadari bahwa puasa memang akan menjaga ‘pandangan’ dan ‘kehormatan’ saya, seperti sabda Nabi. Tetapi jika saya menggali nasihat itu lebih dalam lagi, puasa akan menjadi penjaga yang membuat saya menjadi pribadi yang ‘terpandang’ dan ‘terhormat’.
‘Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah penjaga baginya.’ (HR Bukhari-Muslim)
Melbourne, 8 Ramadhan 1436 H
FAHD PAHDEPIE
A : "Udah aku baca. Mas tau maksudnya ga. Udah tau maksud dari percakapan itu... "
I : "Ya tau makane aku share masalah ini kena tauziah kaya itu hehehehe'
A : "Trus kenapa sampe sekarang mas masih fokus sama 1 hal saja. Ibuku pernah bilang puaskan dirimu, apa yang kamu mau beli, lakukan sebelum kamu menikah. Intinya aku disuruhnya untuk menikmati kesendirianku karena ketika sudah menikah kebebasan akan terbagi-bagi "
I : "Dibilang fokus sih gak,tapi dibilang gak yaa mikirin itu juga"
A : "Mas terlalu ingin nikah"
I : "Sama kalau itu juga makanya kalau aku lagi suntuk banget paling mendekat sama alam liar, meskipun itu cuma sendirian lhoo"
A : "Andai cewek yang deket sama mas mau ga perlu pikir panjang deh kliatannya langsung mas lamar ga nunggu  mikir 2x "
I : "Tapi mas juga gak mau mati konyol di alam liar, pasti semua dipersiapkan matang-matang"
A : "Mas mendekat ke alam tapi pikiran dan hati masih terikat gimana bisa menikmati"
I : "Adek tu belum tau, mas ke alam juga dalam rangka pencarian lho hehehe. Sapa tau nemu yang sama hobynya"
A : "Ya emang aku ga tau, bahkan aku juga ga tau mas gimana"
I : "Semua itukan ada titik jenuhnya"

A : "Tapi aku bisa pastikan kalau mas terlalu fokus, entah karena malu ato takut keburu kiamat ga tau juga alasannya apa"
I : "Ya malu itu sebagian alasan mas juga kok"
A : "Ya titik jenuh akan selalu ada tapi bagaimana mencari jalan untuk bisa sukses bersamaan itu yang harusnya mas lakukan. Ga perlu malu mas. Malu lah jika mas nganggur, merugikan orang lain, agama yang kacau dan hidup mas ga berguna. 
Sepertinya susah merubah pandangan mas karena 'nikah' udah harga mati, kaya bangunan yang mas bangun tembok tinggi sebagai pelindung"

I : "Tapi aku pernah share juga sama temen HRD kebetulan psikolog juga, yang mas takutin tuuu.
Bahwa ada usia dimana niat nikah itu berkurang. Mereka terlalu takut inilah itulah akhirnya niat yang tadinya besar malah makin menciut. Dan bahkan selera terhadap lawan jenis malah berkurang. Itu aja yang mas takutin"
A : "Apakah itu udah menjadi harga mati berdasar surve atau cuma sample doank"
I : "Belum lagi kalau ada cobaan-cobaan yang lain"
A : "Klo menuritku ga ada yang seperti itu"
I : "Yaa bukan harga mati siih, mas takutnya kalau itu terjadi. Belum lagi kalau cobaan-cobaan lain. Misalnya untuk memuaskan nafsu sesaat ambil gampangnya aja jajan"

A : "Cuma emang di usia 20an sebagian cenderung  kaya berlomba-lomba nikah atas dasar cinta tapi setelah usia 30an pemikiran  lebih matang bahwa nikah ga hanya dengan modal cinta tapi ada banyak faktor di dalamnya yang perlu di pikirkan juga"
I : "Yang mas takutin itu hal-hal yang kaya gitu"
A : "Nah itu. Alasan lain mas ingin buru-buru nikah itu sebenarnya.
Mas belum paham benar maksud dari percakapan yang mas kirim ke WA tadi"
I : "Makanya yang mas takutin itu"
A : 'Gini. Coba mas fokus ke arah laen"
I : "Yaa paling gak mas kalau sudah nikah bisa ngurangin dosa. Kalau dah nikah pasti bakal berubah kalau dalam rumah tangga itu baik dan benar managementya"

A : "Siapa bilang. Belum tentu juga mas. Bisa aja mas malah nambah dosa"
I : "Dosa dalam hal apa kalai boleh tau"
A : "Nikah itu bukan akhir tapi awal dari langkah kehidupan yang sebenarnya"
I : "Contoh kecilnya aja"
A : "Ketika pacaran kita belum tau sifat asli pasangan dan saat menikahlah semua terbongkar entah itu baik ataupun buruk. Selalu ada cobaan kan, jika mas ga bisa ngatur rumah tangga ngarahkan ke hal baik apa ga sama aja tu"
I : "Kalau menurut mas itu benar semua akan terjadi, akan terbuka semua sifat-sifat jeleknya baik wanita atau laki-laki. Dan itu harus jadi tanggung jawab bersama bagaimana caranya bertahan terhadap pilihan kita"

A : "Kalau menurutku rubah fokus mas, coba mas kerja benar sukur-sukur bisa buat usaha sendiri nabung untuk ank istri kelak dan selama berjalan itu juga buka hati dan pasang sinyal mungkin saja di tengah perjalanan mas ketemu seseorang yang sama-sama klik jadi mas dapat semua kan. Nah kadang ego lebih berperan. Kalau ga perempuan sabar susah untuk mengedepankan kebutuhan pasangan dibanding dirinya sendiri
Pasti mas sering dengar kata-kata sabelum bertemu jodoh perbaiki diri.
Itu bisa mas praktikkan sekarang. Bukan aku berpikir mas buruk tapi alangkah baiknya persiapkan segalanya terlebih dahulu biar melangkahnya lebih enk. Lihat teman-teman mas yang udah menikah. Apakah mereka benar-benar seperti yang mas lihat..."
I : "Pernah dengar keterangan belum 'sekaya kayanya pemuda blm bisa dibilang kaya kalau blm menikah' Dan biasanya Tuhan bakal memberikan tambahan rezeki terhadap umatnya yang mempunyai tanggungan"
A : "Kalau itu aku percaya karena setiap orank punya jalan rejekinya masing-masing.
Memang Tuhan akan memberikan tambahan rezeki terhadap umatnya yang mempunyai tanggungan, itu karena setiap orang sudah memiliki rezekinya masing-masinh dan orang yang mas tanggung itu sama saja rejeinya di titipkan kepada/melewati mas. Dengan kata lain rezeki yang di dapat adalah gabungan dari beberapa rezeki orang lain yang menjadi tanggungan. Itu juga tergantung dengan yang dititipi, jika ia pekerja keras, ulet dan tanggung jawab kemungkinan rezeki itu akan datang. Tapi sebaliknya jika ia hanya bermalas-malasan lantas bagaimana bisa sampai ke rezeki yang sudah di taruh oleh Tuhan di tempat-tempat tertentu apakah bisa diraih....

I : "Kok adek kaya gk kasih semangat mas gitu yaa...=') 
A : "Aku bukan ga ngasih semangat. Cuma aku ingin mas buka mata biat ga fokus hanya dengan 1 hal saja"
I : "Nhaa yang jadi masalahkan hanya membesarkan ego pribadinya saja"
A : "Makanya itu kan aku bilang sebelum mas menemukan yang klik alangkah baiknya mas persiapkan semuanya. Kaya mas pas muncak. Mas punya tujuan naklukkan puncak, jauh-jauh hari bahkan berbulan-bulan sebelumnya mas udah persiapkan semuanya kan. Dari dana, peralatan, perbekalan semua mas cek biar pas hari H nya tiba di jalan ga ada kendala berarti. Mungkin rejeki bisa diibaratkan jalur yang akan mas lalui. Trus peralatan dan persiapan apa yanh mas udah lakukan...?!"
I : "Tetap aja adek semua yang kita siapkan pasti bakal ada masalahnya juga nanti mau pas hari H atau pas dilapangannya. Dan itupun setiap masalah pasti berbeda dengan gunung-gunung lainnya"
A : "Benar ada kendala tapi lihat ketika perlengkapan lengkap kendala bisa di atasi kan. Coba kalau mas asal-asalan ga prepare benar-benar, di jalan ada kendala bisa kalang kabut. Permasalahan emang beda tapi alat yang mas bawa bisa mecahin semua masalah to. Ingat-ingat deh ketika mas muncak tanpa persiapan gimana perjalanannya dibanding dengan persiapan matang"

Aku belum pernah muncak tapi aku bisa bayangin bagaimana keadaan setiap langkah untuk melalui rintangam yang ada di depan yang datang tak terduga dan tak jarang ga kita sangka-sangka sebelumnya hingga bisa membuat panik hanya untuk mencapai satu tujuan yaitu puncak. Namun rintangan seperti apa pun jika kita sudah memiliki kesiapan mental yang kuat serta perbekalan yang cukup aku yakin semua rintangan bisa teratasi.

I : "Yaa dengan niat dan tekat semua itu bisa terselesaikan demi satu tujuan puncak yang jadi idaman, dan bahkan dengan membuang ego pribadi dengan mau menerima nasehat teman dalam satu perjalan"
A : "Nah sedangkan sekarang kalau aku liat ego mas masih tinggi. Mas belum bisa meredam ego. Hanya kadang-kadang aja tapi itu juha ga sepenuhnya berhasil"
I : "Gak selamanya pendapat kita itu benar lhoo"

Satu kalimat yang sebenarnya ingin memberikan rambu-rambu padaku bahwa kata-kataku tanpa disadari sudah menyudutkannya hingga dia tak lagi bisa mengeluarkan kata atau mengelak memberi umpan balik untukku. Tapi bukankah kata-kata itu juga mengarah pada dirinya juga....

A : "Mas pernah ga muncak tanpa persiapan. Emang"
I : "Adek pernah dengar belum seorang porter yang meninggal dalam perjalanan"
A : "Pernah"
I : "Yang sudah memahami medan dan logistik kira-kira yang dibawa apa, bisa juga meninggal dalam perjalanan. Kayanya ni malam malah debat yaaa, mentang-mentang besok libur hehehe"
A : "Fisik dia lupa jaga itu"
I : "Bukan masalah itu kalau menurutku"
A : "Apa"
I : "Pernah dengar sifat sombong dan kurangnya rendah hati. Merasa percaya diri tapi disertai sifat-sifat tersebut. Akhirnya apa Tuhan berkehendak lain. Tanpa memikirkan pendapat orang lain itu mungkin bisa juga"

A : "Sombong dan kurang rwndah hati kalau menurutku itu sebuah ego"
I : "Begitu juga dalam rumah tangga, meskipun persiapan matang tapi antara suami dan istri tak pernah bersyukur yang ada dalam pikirannya hanya dunia dan dunia saja. Istri menasehati tak digubris atau sebaliknya. Yaa akhirnya Tuhan berkehendak lain kaaaaan?"
A : "Nah itu mas paham tapi mas yakin kalau sudah bisa meredam ego sedalam-dalamnya. Kalau aku bilang belum. Ego mas masih tinggi"
I : "Inshaa Alloh mas bisa dan akan mencoba"
A : "Aku lihat dari percakapan dari awal kok. Coba mas baca ulang deh"
I : "Cuma mengira-ngira gitu"
A : "Ga mengira-ngira juga"
I : "Itukan adu argument"
A : "Adu argumen juga seperti percakapan to. Sama kaya ngobrol hadap-hadapan"
I : "Iyaa mas juga tau kok. Tapi kan ada bagusnya kalau bukan hanya chat. Mas bukannya mau pengen menang lhooo"
A : "Nah itu karena mas kurang peka. Makanya ga tau gimana lawan bicara mas"
I : "Kan tadi judulnya debat hehehe..."
A : "Debat tapi mas konyol. Ya udah ngobrol lanjut besok aja ya udah malam"
I : "Kecuali kalau sifat seharian pasti bakal beda . Sudah pagi ini bukannya malam hehehe. Bentar lagi juga rame yang sahur"
A : "Kata-kata yang keluar itu pancaran gimana orank itu, gimana moodnya. Lumayan buat tidur bentar biar bisa absen malam. Saranku coba mas analisa, resapi tiap kata dari percakapan yang mas kirim di WA. Disana sebenarnya mas bisa menemukan apa yg mas cari.
Mas juga coba kenali diri mas. Ya istilahku seh kembali pada diri sendiri biar mas lebih mengenal siapa mas sebenarnya. Maap ya mas jika kata-katanya pedes asal nyeplos dan nyinggung, bikin mas kesel. Ga ada maksud apa" 
I : "Yuups habis subuh lanjut lagii tidur hehehe. Iyaa makasih adek atas masukannya buat mas, mas malah seneng kok dari pada ditutupin"
A : "Makasih"
I : "Yaa intinya kritikan itu membangun, bukannya malah diam-diam saja untuk merubuhkan"
A : "Maap  bisa bantu banyak malah bkn mas sdikit kesel. Mas gondok ya . Heheheehee"
Mungkin yang di rasa ga hanya gondok tapi juga sudah ingin melayangkan tinju dan ngacak-acak rambutku kali ya karena ga pernah membenarkan ucapannya dan selalu saja bisa membantah apa yang diucapkannya.
I : "Mas gk gondok kok. Kalau kesel pasti udah di DC "
A : "Mas agak sebel juga tadi ga bisa bales kata-kataku. Udah aah mau tidur dulu"
I : "Justru mas perlu orang-orang seperti adek yang mau nasehati mas"
A : "Met rehat mas"
I : "Justru mas perlu orang-orang seperti adek yang mau nasehati mas. Sebenere mau balas tapi adek pamitan mau istirahat. Jadi gak enak ganggu istirahat adek. Met istirahat adek"
A : "Pas pertengahan tadi mas . Mas mulai kesel, mungkin kalau di jalan langsung nonjok x ya. Hahahahaa. Mas tulis aja tar sahur aku bales deh"
I : "Bukannya nonjok kalau bawa kerir pasti dilemparin. hahahahha"

A : "Hahahahaa... Pasti mantan cowok adek tu bilang ini cewek keras kepala susah diatur hahahaha"

Ketahuan to (26/06)