6/07/2014

Bisakah Kita Tetap Bergandengan #11

Di kantor aku merasakan dada ini semakin sesak dan sakit, aku coba mengirim sms kepada adikku dan mengatakan apa yang aku rasakan namun responnya begitu mencengangkan dia tidak menanyakan apa yang terjadi padaku malah berkata yang punya masalah bukan hanya aku, menceramahiku tentang orang-orang di luar sana yang ada di jalan yang tak bisa mengatasi masalahnya sendiri hingga depresi. Sangat panjang kalimat yang di ucapkannya namun bukan itu yang aku inginkan saat ini aku ingin ada seseorang yang mendengarkan aku, aku butuh bahu untuk bersandar bukan ceramah ataupun nasehat.

Membaca kalimat demi kalimat membuat hati ini semakin sakit hingga tak terasa air mata ini menetes. Sakit melihat kalimat yang cukup pedas yang diucapkannya. Oke lah aku mengerti sepertinya ini menjadi satu poin tersendiri yang membuatku untuk tidak bercerita tentang apa pun padanya cukup sekali ini saja aku mendapatkan hal yang seperti ini.

Aku tau bila setiap orang memiliki tingkat masalahnya sendiri-sendiri tapi bisakah aku meminjam bahu sebentar saja untuk bersandar, aku lelah bahkan sangat lelah dengan perasaanku sendiri. Mungkin benar aku terlalu lemah dan lembek dengan masalah seperti ini saja sudah membuatku sangat down. Sangat memalukan ya tapi asal tau saja dari lahir hingga sekarang aku baru menemukan seseorang yang sanagt mengerti diriku melebihi aku sendiri baru kamu. Aku bisa bebas bercerita tanpa ada secuilpun hal yang perlu aku tutup-tutupi semuanya, bahkan yang orang lain tak tau pun engkau mengetahuinya.

***

Malam mulai beranjak adzan magrib sudah memanggil agar kita umat muslim bersegera menjalankan kewajiban untuk meluangkan waktu beribadah sejenak mengucap syukur atas segala yang telah Tuhan berikan kepada kita. Sesegera saja aku mengambil air wudu dan meninggalkan leptop yang masih menyala dengan coretan tentangmu yang belum selesai. Tak butuh waktu lama, setelah selesai aku kembali lagi di depan monitor. Hati masih terasa sakit karena merindukanmu dan berharap kau ada untukku yang hanya bisa aku tuangkan dalam bait-bait kata yang terangkai menjadi puisi. Sakit dan perih terasa hingga dada ini terasa sesak bahkan teramat sesak, seakan rinduku telah menyumbat jalan pernafasanku.

Air mata sudah memenuhi kelopak-kelopak mata dan tak butuh waktu lama untuk mengalir karena dorongan emosi dari hati seakan sudah memuncak. Benar saja serasa embun yang berada di atas daun, bagai manapun daun berusaha mempertahankan keseimbangan agar bola-bola air tetap tenang berada di atasnya tak berhasil sehingga butiran embun pun terjatuh mencari jalan menuju ke muara.

Tak peduli dengan keberadaan ibu yang ada di kamar untuk menonton acara televisi kesukaannya. Berusaha untuk tak terisak agar ibu tidak tahu, hanya air mata yang terus saja berjatuhan bagai air hujan. Sepi dan pilu aku merasakannya, ingin berontak, ingin teriak agar kamu yang entah ada dimana sekarang tau bagaimana sakitnya menahan kangen.

Aku berjalan ke arah ibu, ingin mendapat pelukan darinya, aku duduk di samping ibu dan bersandar di punggungnya.
"Ibu...." Air mata yang tadi sudah mulai reda sekonyong-konyong tumpah lagi.
"Kamu itu kenapa ?!" tanya ibu tanpa melihat, pandangan tetap ke televisi
Tangisku semakin menjadi. Ingin rasanya mendapat elusan di kepala agar hati ini bisa sedikit tenang.
"Ibu....hikh hikh hikh....." tangisku seakan tak bisa berhenti dan tak bisa berkata apa-apa karena aku yakin ibu tak akan paham apa yang aku rasakan.
"Kamu itu kenapa...?" Sekali lagi pertanyaan yang sama terucap.
"Nangis, tidak ada apa-apa nangis. Ibumu masih hidup kenapa kamu nangis sampai kaya gitu" masih tetap sama, tanpa berkeming dari layar televisi
Aku bersandar di pundaknya dan mendekap tangan kiri ibu yang sedang memandangi acara televisi.
"Kaya gitu ditangisi, ini nanti baju ibu basah mesti ganti lagi" sembari berusaha melepaskan tangaku dan sedikit gerakan kedepan agar aku tak bersandar lagi kepadanya
Mendengar perkataan seperti itu hati ini semakin sakit rasanya namun sifat cuek yang masih membuatku menyandarkan kepala di bahu ibu dengan harapan ibu mau mengerti dan sudi memberikan usapan di kepadaku

"Agak kesana, ini nanti bajunya basah, nanti buat sholat mesti ganti lagi. Cuma kaya gitu di tangisi"
Ya Allah sakit dengarnya, dan aku memilih untuk menyingkir dan kembali ke posisi awal, di depan lepi.
Adzan isya pun berkumandang ibu beranjak dari tempat duduknya untuk berangkat ke mushola. Sebelum berangkat ke mushola ibu menyempatkan untuk ganti baju, ini aku tau karena ibu sempat masuk lagi ke kamarku dan terlihat bajunya sudah beda.

Air mataku seakan punya persediaan yang melimpah karena sudah berkali-kali aku seka dengan tangan dan berusaha menahannya namun seakan tak ada hasil. Rasa sakit ini bertambah perih dengan omongan ibu barusan. Aku hanya ingin pelukan, aku hanya ingin sentuhan tangan lembutnya namun tak disangka responnya seperti itu. Aku sandarkan kepala di bantal yang aku ambil dan aku letakkan diantara lututku. Meringkuk dengan kesakitan ganda. lama aku mencoba agar tak ada air mata yang menetes lagi karena aku tak mau bapak ataupun yang lain tau aku menangis.

Selama ini tak ada yang tau jika diam-diam tangisku pecah. Hanya dinding kamar dan bantal biru mickey inilah yang menjadi saksi kecengenganku. Berbicara dengan hati, mencoba menenangkan dengan memberi pengertian dan menguatkan seperti itulah yang biasanya otak lakukan. Ini agar semua rasa gundah dan dilema yang menguasai hati bisa segera pergi.

Entah karena sudah capek dengan segala rasa kesal di dada yang memuncak keluar bersama air mata atau dengan mendengar kata-kata yang otak berikan sehingga bisa menenangkan kekesalan hati yang pasti isak tangis pun perlahan -lahan mulai menghilang walaupun raut muka masih terllihat kesedihan.

BERSAMBUNG