6/07/2014

Andai Aku Bisa Bilang Tidak #8

Botol pun beranjak dari tempatnya berdiri dan masuk ke bus. Tanpa menunggu busnya berangkat langsung aku tancap gas. Mata terasa berat, ada yang mendesak di kedua bola mataku yang semakin lama semakiin membuat mata ini semakin lembab dan tetesan kristal pun mengalir membasahi pipi. Di sepanjang jalan mengendarai motor air mata ini seakan bagai sungai yang mengalir, tak bisa di bendung dan keluar dengan sendirinya. Hati terasa sesak dan ingin mengamuk jengkel pada diri sendiri tak tau berbuat apa ingin berontak tapi takut. Sepanjang jalan mata ini mengeluarkan cadangan air hingga sampai di rumah pun air mata masih saja keluar. Kebetulan juga kaca helmku dan tertutup rapat hingga ketika di lamppu merah tak ada yang menyadari bila ada banjir lokal walaupun sesekali aku mesti mengusap ingus yang keluar karena menangis. Kenapa juga ingus setia banget kepada tangis seh, selalu ada ingus bila air mata menetes, bagai hujan dan petir.

Setelah sampai rumah aku segera masuk kamar dan tidur menghadap ke tembok, ini agar jika ada yang lewat depan kamarku tidak ada yang tau kalau aku sedang menangis. Kamar yang agak gelap dan menghadap ke tembok adalah satu-satunya cara untuk mengelabuhi karena kalau menutup kamar pasti ibu curiga.

"Berangkat jam berapa sana siap-siap daripada jamnya mepet malah gedebukan, siap-siapin apa saja yang mau dibawa". Suara ibu yang tiba-tiba aku dengar.
Ibu berdiri di depan pintu ini aku lihat dari pantulan kaca di kamar, isakan tangisku sebisa mungkin aku tahan agar ibu tidak mendengar dan curiga.
"Hu um" Hanya itu jawaban yang keluar karena aku yakin jika aku ngobrol panjang bakal ketahuan kalau aku nangis dari suaraku yang parau.
Melirik ke arah kaca ibu sudah tidak ada, aku pun mengikuti kata-kata ibu untuk bersiap-siap kembali ke Yogja. Di kamar mandi pun sambil mandi air mata belum juga mau berhenti bagaimana pun aku menahannya, ketika aku melihat ke cermin mata ini kelihatan merah dan sembab.

Diantar adik lalakiku ke sattle bus yang aku naiki travel dari poll ke poll bukan dari rumah ke rumah jadi ya mesti ke tempatnya untuk naik, aku sekuat tenaga amenahan gar air mata ini tidak keluar maupun terisak. Menahan tangis membuat dada ini sangat sesak, entah adikku tau atau enggak bila aku habis menangis. Ketika berpamitan sama ibu untuk mengelabuhi aku menggunakan kacamata dan langsung menggunakan helm, aku menahan isakanku. Sukses ibu tidak curiga entah dengan adikku, karena adik lelakiku ini orangnya pendiam kalau pun tau pastinya juga paling hanya diam dan membatin saja. Waktu mau berangkat sangat kaget bapak sudah datang, bukan kaget melihat kedatangan bapak namun ketika melihat raut muka bapak sangat aneh. Disana aku melihat keletihan, kebingungan dan sedikit pucat entah apa yang terjadi. Karena takut ketinggalan travel seperti dulu-dulu aku pun bergegas berangkat yang saat itu adik sudah siap untuk mengantarku.

Di salam travel aku duduk tepat di belakang pak sopir sepertinya ini adalah tempat duduk favoritku dengan penumpang di sebelahku cowok, tumben-tumbenan mobilnya penuh biasanya aku hanya sendiri tanpa ada orang di sebelahku. Melihat ke arah luar memperhatikan jalan yang agak macet karena bertepatan dengan orang-orang pulang kerja. Ketika melalui jalan yang aku lalui saat mengantar botol tiba-tiba saja mata ini menggenang dan sekali lagi tumpah tanpa bisa aku tahan. Beberapa kali aku menyeka ingus dan air mata dengan tisu yang aku bawa, menutup kepala dengan kupluk jaket selain untuk menahan dingin agar kepala tidak pusing, juga agar orang di sebelahku tak tau. Tapi sepertinya orang di sampingku ini tau karena ia sempat melihat ke arahku. Mungkin karena isakan yang terdengar lumayan keras kali ya habisnya ditahan malah terisaknya keluar lebih keras.

Titit..titit....titit.... hpku bunyi sepertinya ada pesan masuk, benar saja 1 pesan masuk datang dan ternyata dari botol. "Ell sudah berangkat belum tidak ngabarin mas" isi pesan darinya. Hanya aku baca tanpa berniat membalasnya. Namun mungkin karena menunggu tidak ada jawaban botol pun telepon, aku hanya melihat siapa yang telepon dan ketika mengetahui yang menelepon botol aku biarkan saja hanya menahan suaranya saja biar tidak emngganggu yang lain nanti juga berhenti sendiri pikirku. Namun sekali lagi perkiraanku salah bunyi teleponnya tidak berhenti-berhenti sampai aku sungkan sendiri dengan penumpang yang lain akhirnya aku pun mengangkatnya juga.
"Hallo..." Kata standard yang digunakan bila menjawab bunyi tetepon
"Sayang dimana, kok teleponnya enggak diangkat-angkat" 
Haaa sayang, iiih dengarnya seakan isi perut teraduk-aduk bikin mual, ingin muntah.
"Sudah berangkat belum mobilnya, kok gak ngabarin tadi kan sudah janji bila berangkat mau ngabari, kenapa sms mas juga enggak di balas" Sederetan kalimat yang keluar darinya yang menurutku tidak hanya pertanyaan simple namun juga tali yang seakan mencekikku.
"Gak dengar teleponnya di tas" jawabku bohong (maaf kalau menghadapinya aku banyak berbohong yang bukan menjadi kebiasaanku)
"Telepon jangan di taro di tas, di kantongi saja biar kalau mas telepon bisa dengar, ngerti"
Tak ada tanggapan dariku, dari jendela mobil pandangan mata menerobos malam jauh ke angkasa yang mulai gelap
"Hallo...hallo....Ell...." Suara di seberang seakan memastikan jika masih ada sambungan
"Ya"
"Ini dimana..."
"Mobil"
"Sudah berangkat ya kok berisik banget, sudah sampai mana..."
"Gak tau" Air mata ini seakan menandakan berontak dengan mengalir semakin deras.
"Sayang kenapa, suaranya beda sakit ya"
"Iya lagi flu" Bohong lagi biar tidak banyak pertanyaan
"Sudah minum obat belum tadi, buat tidur saja tapi nanti kalau sudah sampai mas dikabari ya"
Tak ada suara dariku hanya mendengarkan dengan seksama dan berharap sambungan segera terputus. Ingin rasanya mematikan telepon tak penting ini tapi kalau nanti aku matikan pastinya bunyinya meraung-raung lagi tanpa henti.
"Kamu marah ya karena mas pulang cepat, maaf mas sudah ada janji nanti mas sering main ke Yogja kalau enggak sibuk"
Iiiih PD bener siapa juga yang meduliin kamu, pikiranku mengutuk semua perkataannya yang membanggakan diri dan terlalu over PD. Tak ada jawaban hanya diam melihat ke arah luar jendela pikiran kosong menerawang jauh.
"Benar mas dikabari" Sekali lagi meyakinkan. padahal aku belum menjawab apa-apa ia sudah sok yakin kalau aku jawab iya.
Tanpa menjawab langsung aku matikan telepon. Air mata semakin deras mengalir membasahi pipi di sepanjang perjalanan. Ingin rasanya mendapat pelukan yang meneduhkan namun disaat seperti ini tak ada satu pun yang ada bersamaku bahkan lelaki yang setatusnya teman dekat / pacar pun seakan tak peduli denganku. Mungkin hanya air mata inilah yang sedikit bisa memberikan kekuatan sekaligus menjadi teman dalam kesedihanku.

Sepanjang perjalanan dari Semarang-Yogjakarta yang ditempuh 3 jam sarat dengan tangisan yang tak ada hentinya entah sebanyak apa cadangan air yang aku punya hingga tidak habis-habis hanya sesekali mereda dan mulai lagi dengan isakan dan linangan di pipi. Biasa selama di perjalanan aku menyumpal telinga mendengarkan musik lalu tidur atau seenggaknya memejamkan mata agar tidak pusing ini mata susah sekali diajak kompromi, seakan seluruh organ tubuhku ikut berontak.


BERSAMBUNG