6/07/2014

Andai Aku Bisa Bilang Tidak #3

Minggu yang Panjang

Keesokan paginya, Mungkin kisaran jam 10.00 Botol sudah datang ke rumah. Dengan berat hati mau gak mau aku yang menemui lah. Hari minggu, bapak sudah pergi ada janji begitu juga dengan adik-adikku tinggal aku, ibu dan si kecil putra yang sudah ada di rumah sejak pagi, Putra lagi asik menonton acara televisi. Ketika Botol datang aku sedang bermain bersama putra, Botol tanpa di persilahkan duduk sudah nyelonong dan duduk manis di kursi panjang yang ada di dekat pintu. Aku Menghentikan sementara keasikanku dengan Putra dan duduk di depan botol yang ada di kursi seberang dengan meja sebagai pembatas. Namun tak lama juga aku bisa diam karena aku memilih untuk bermain dengan Putra ketimbang berbincang dengannya.

Pembicaraan basa-basi Botol dengan ibu yang entah ngobrol apa karena aku tak menggubrisnya aku masih asik bercanda dengan putra tanpa mempedulikan kalau dia ada.
"Ell.....Elly....".
Mendengar panggilan namaku beberapa kali itu aku hanya menengok dan kembali asik bersama Putra.
"Ell duduk sini lho deket mas"
"Gak, sini saja...."
"Ayo sini" Sambil tangan kiri memberi tanda agar aku duduk di sana.
"Sana lho Ell biar ngobrolnya enak" Suara ibu menyahut.
Karena ibu yang suruh aku pun menurut, duduk di samping dia walau begitu tetap saja memberi jarak biar tidak mepet-mepet botol risih sebenarnya duduk di sampingnya terasa aneh. Ibu yang tadinya nonton televisi beranjak dari tempatnya dan pergi ke dapur, kagak tau mau ngapain sedangkan putra lagi asik bermain sendiri sambil sesekali melihat ke arah Botol.

"Tadi malam setelah mas telepon langsung bobo"
"Hu um" jawabku singkat sambil melihat tingkah polah Putra yang menggemaskan.
"Beneran langsung bobo, enggak ngapa-napain"
"Enggak"
"Wah kamu ini, harusnya sebelum tidur itu mengingat kembali apa yang sudah dilakukan hari ini. Tadi malam mas baru bisa tidur jam 3an habis telepon itu to mas berpikir dan menimbang, kemaren kalau kamu tidak angkat telepon dari mas mungkin pagi ini mas langsung pulang, namun berhubung tadi malam telepon mas kamu angkat dan selama ngobrol denganmu mas enak makanya tidak jadi pulang."
"Kemaren mas bilang sama bu Ros ini yang terakhir, dia kenal-kenalin wanita. Awalnya ragu namun setelah mas melihat kamu semalam dan telepon mas jadi yakin. Makanya mas enggak pulang."
"Yakin apa...?!" Tanyaku sekedar basa basi
"Kalau kita cocok" Pandangan dia tak pernah lepas dariku.
Aku hanya diam walaupun dalam hati penuh rasa umpatan namun mencoba bertahan dan meredam emosi yang mulai timbul.
"Mas kemaren datang kesini tanpa persiapan, bu Ros telepon hanya bilang suruh datang main ke rumahnya ada perlu penting makanya mas gak bawa persiapan hanya bawa baju satu bahkan mas juga tidak bawa uang. Siang sempat rapat dengan pak wali sampai sore langsung berangkat ke Semarang, tapi kalau sudah rejeki di tengah perjalanan mas di telepon kenalan yang rumahnya di salatiga, ngobrol-ngobrol dan ada barang yang laku".
"Barang apa...?" Dengan ogah-ogahan menanggapi sekedar mendengarkan sambil melihat televisi.

Dia menyebut nama barangnya aku lupa itu onderdil motor tua bahkan Botol juga mencerotakan dia membeli barang itu dengan harga murah namun menjualnya dengan harga yang lumayan. Selama percakapan tak sekali pun aku melihat ke arahnya melihat ke arah televisi dia pun menegur untuk melihat ke arahnya. Idih ogah banget liat mukanya. Sepertinya dia lihat aku terus deh sampai pengen nampar tapi aku berusaha cuek dan masabodo saja.

"Jerawatnya jangan di pegang-pegang terus, tangan-tangan kan kotor kalau di pegang-pegang nanti malah infeksi dan menimbulkan bekas, jadi jelek nanti kalau ada bercak-bercak hitam." teguran ketika melihatku beberapa kali meraba-raba jerawat yang bermunculan di muka.
"Gak papa"
"Ini di kasih tau jangan di pegang-pegang terus" Sambil menarik tanganku yang masih asik megangin jerawat". Aku menepis tangannya yang tadi menghalau aku untuk memencet jerawat yang ada di muka.
"Enggak pernah bersihin muka ya"
"Bersihin kok" Enak saja nuduh gumamku dalam hati.
"Kalau habis bepergian langsung bersihin muka biar mukanya bersih. Mas kalau habis pergi selalu cuci muka pake B*or*, ini biar muka mas bersih lihat deh enggak ada jerawat kan".
Tak ada tanggapan dariku hanya senyum kecut itu pun tanpa melihatnya. Sepertinya segala omongan dia tak pernah aku anggap hanya mampir dan berlalu.
"Jerawatnya banyak tidak pernah bersihin muka ya"
"Iya enggak suka ribet" jawabku seenaknya
"Harusnya sebagai cewek mesti rajin-rajin bersihin muka biar enggak ada jerawat, mas saja cowok kalau habis pergi selalu cuci muka, ini biar muka mas bersih. Masa ya cewek kalah sama cowok".

"Nanti sore keluar yo"
"Ngapain....?!"
"Ya cari makan, sekalian nanti mampir ke toko kosmetik biar jerawat-jerawat kamu hilang"
Perasaan jerawatku juga enggak parah-parah amat, cuma 1-2 buah saja yang nongol enggak banyak itu juga karena mau 'dapat'. Kalaupun nanti menghitam juga lama-lama hilang sendiri kagak menimbulkan bekas.
"Malas aah..." 
"Pokoknya nanti sore, antar mas keluar ya"
Hanya diam tak menjawab, aku tidak suka di paksa-paksa apa lagi dengan orang yang tidak aku suka, dan itu bikin emosiku naik.
Orang ini memang tidak bisa baca sikap apa emang muka badak ya.


BERSAMBUNG