7/17/2017

Teriakan yang Melejit

"Kowe ki jan pelit tenan".
Haaaa..., saat mendengar kalimat itu rasanya bener-bener gondok. Seketika mengadu kepada otak, 'benarkah jika aku ini pelit....??!' Antara percaya dan tidak, otak terus saja bekerja mengingat setiap perjalanan hingga sampai sekarang tapi tetap saja merasa penilaianku ga pelit-pelit amat deh sepertinya, namun kalimat itu seperti menyayat, seperti menghujam uluhati.

"Kowe pelit kanggo awakmu dewe".
Huuuuuft..., syukurlah bila seperti itu. Tapi tetap saja aku tidak membenarkan sepenuhnya pernyataan itu karena terkadang aku masih memberikan apa yang aku inginkan, menuruti keinginan-keinginan yang tiba-tiba datang. Aku masih sering membeli jajan ini-itu ketika ingin memakannya, terkadang juga masih belanja (membeli) barang yang tidak begitu penting hanya karena ingin. Bukankah itu sudah menjadi pertanda bahwa aku tidak pelit untuk diriku sendiri, iya kan kan kaaaaan.....

Dan tiba-tiba saja otak ikut berkomentar.
"Coba ingat-ingat (bila masih ingat), selama ini antara mewujudkan apa yang menjadi inginmu dan menjadi ingin orang-orang yang ada di kehidupanmu banyakan mana....???"
Entahlah, kalau yang ini ga pernah mengingat, ga pernah berpikir sampai kesana dan ga mau menimbang-nimbang hal semacam ini.

"Jangan hanya memperhatikan orang lain namun juga perhatikan juga dirimu sendiri. Apa yang menjadi inginmu wujudkan, lakukan, jangan hanya selalu memikirkan orang lain. Memang bagus untuk menomor satukan orang lain namun juga jangan melupakan bahwa dirimu juga membutuhkan perhatianmu seperti kamu memberikan perhatianmu kepada orang-orang dalam hidupmu".
Haruskah seperti itu...., apakah yang aku lakukan untuk diriku selama ini masih kurang..., kenapa aku malah beranggapan sebaliknya, bahwa aku hingga kini belum melakukan apa-apa untuk orang lain terutama orang-orang yang ada di dekatku, terus saja sibuk dengan dirisendiri. Sampai malu, terlalu banyak mimpi tentang mereka namun sampai sekarang belum ada satupun yang bisa terwujud malah sibuk menuruti mauku.

Ke egoisan yang masih mendarah daging di dalam diriku, belum bisa konsisten, belum mengerti dengan benar arti dari; cukup, fokus dan iklas. Terlebih tidak paham apa itu senyum, hanya sekedar tau dan melihat untuk bisa membedakan artinya dan mengkotak-kotakkan sesuai kelompoknya seperti yang aku amati selama ini.

"Lalu...."
Dan bila ditanya begitu akupun ga tau kelanjutannya seperti apa hanya bisa senyum :) senyum yang aku sendiri saja ga tau itu artinya apa dan untuk apa. Yang penting senyum dulu untuk yang lain dan membungkam pikiran agar diam sejenak tanpa komentar pembelaan. (16/07/17)