Sepertinya benar apa kata orang jika suami istri itu mirip. Sering orang mengatakan jika wajahnya mirip mereka berjodoh, ya mungkin itu benar tapi hanya kecil kemungkinan namun jika mereka mengatakan suami istri sedikit banyak memiliki sifat yang sama, mungkin itu sebabnya mereka bisa klop dalam menjalankan rumah tangganya.
Rumah tangga yang dijalani Kak Pon bersama Kak Uri kini sudah dikaruniai buah hati perempuan hidup mereka bahagia, namun begitu hubungan mereka dengan orang tua juga sodara-sodaranya tak berjalan baik. Meskipun mereka rumahnya bersebelahan namun sudah seperti orang asing. Anak yang melupakan orang tuanya, ketika Kak Uri memiliki rejeki lebih tak pernah memberi atau pun berbagi dengan orang tuanya bahkan selalu menutup-nutupi apa yang mereka punya. Ketika membeli makanan di luar atau masak enak pun tak pernah ia ingat meberikan sedikit kepada orang tuanya, tak pernah sedikitpun orang tuanya mendapat kesempatan mencicipi masakan yang dimasaknya sehari-hari.
Anak yang di dilahirkannya, dirawat dan dibanggakannya kini melebihi orang lain yang tak dikenalnya padahal jelas-jelas terlihat dan tinggal di sebelah rumah yang juga masih menempati tanah orang tuanya namun mereka ga pernah berpikir kesana. Mereka berpikir sudah kewajiban orang tua memberikan kehidupan dan tempat yang layak untuk anaknya, jadi kewajiban yang ga boleh menuntut haknya. Suami istri memiliki sifat sama, ga pernah memikirkan orang tua. Ketika mereka memiliki rejeki lebih tak mengingat orang tua atau sodaranya yang lain, namun ketika orang tuanya mendapat rejeki lebih selalu meminta bagian. Dalam artian apa yang ia punya ya miliknya namun apa yang orang lain punya ia juga punya andil disana.
Air mata itu lama di tahan namun pertahannya runtuh dan tumpahlah air mata membasahi pipi yang mulai keriput dengan banyak garis-garis deiring usia yang kini tak muda lagi. Mungkin jika kak Uri tinggal jauh dari sana ga ada masalah untuk orang tuanya, setidaknya ia tidak melihat dan tak akan mengusik segala kelakuan anaknya namun ini kak Uri tinggal bersebelahan sehingga pada saat kak uri beli ataupun memasak sesuatu ibunya akan tau, itu juga ga ada keinginan untuk memberikan sedikit yang dimakannya kepada orangtuanya. Bahkan sekedar menawari makan saja tidak pernah kak Uri lakukan. Bagaimana bisa anak yang dibanggakan melakukan hal itu, padahal tetangga saja terkadang mengirimkan makanan sekedar berbagi rejeki tapi mengapa anak kandungnya yang harus bertaruh nyawa pada saat melahirkannya ga pernah melakukan hal itu.
Air mata kesedihan, ia merasa seperti di buang oleh anaknya. "Meskipun ia anak kandung tapi anggap saja ia seperti orang lain yang mengontrak di samping rumah. Ga perlu di pikir, anggap kehilangan anak satu ga ada masalah masih ada anak-anak lain yang lebih peduli". Mungkin orang-orang akan menyarankan seperti itu tapi bagaimana bisa menutup mata pada anggota keluarga, jika ga lihat jelas bisa saja tapi ini terlihat dengan jelas, dengan jarak yang sangat dekat bahkan malah seperti mengejek dan dengan sengaja memperlihatkan apa saja yang ia miliki namun ketika disapa perihal barang yang sedang dibawa bukan penjelasan halus atau tanggapan yang menyejukkan malah sebuah kata-kata dengan penekanan dan dengan nada yang meninggi. Semakin hancur saja hati ibu mendengarnya, dan kejadian seperti bukan saja terjadi dengan sang ibu tetapi juga dengan anggota keluarga yang lain. Keluarga kak Uri termasuk suami dan anaknya selalu tak pernah bisa baik dengan anggota keluarga besar mereka yang masih satu atap meskipun terpisah tembok.
Dan dari air mata yang menetes itu terucap berbagai macam cacian, kemurkaan seorang ibu terhadap anak yang ga bisa membalas budi, anak yang hanya mementingkan dirinya sendiri juga seorang anak yang lupa darimana ia berasal. Doa ibu adalah segalanya, dengan doa seorang ibu akan meringankan langkah, membukakan pintu rejeki dan memudahkan segala urusan begitu juga sebaliknya tanpa restu ibu perjalanan tak semudah yang dibayangkan.
BERSAMBUNG...