8/04/2014

Hujan

Rintik hujan kembali datang ini, ku lihat diluar lewat jendela kamar langit gelap tertutup awan kelabu. Sepi, tenang, dan hanya gemuruh hujan yang terdengar riuh mengusik pagi, awal yang damai dengan aroma tanah kering yang tersiram air hujan. Tak ada teriakan penjual sayur, suara tangis anaka-anak kecil berlarian dan deru kendaraan seperti biasanya. Senyap, mungkin penghuni bumi memilih mencari kehangatan di balik selimut tebal sambil menyaksikan acara televisi atau melanjutkan mimpi yang terhenti karena terbangun terusik suara petir yang keras.

Tak jauh beda denganku yang memilih untuk kembali ke tempat tidur lalu menghangatkan tubuh di bawah selimut tebal dan menyalakan musik dari mp3 player ketimbang melihat acara televisi yang sebenarnya menurutku ga ada yang bagus. Perlahan-lahan mulai terdengar lagu sendu yang sering aku putar. Mataku terpejam menikmati alunan lagu yang kebetulan pas dengan suasana di luar. Nyanyikan satu lagu sendu dalam lirik yang keluar dari lubuk hati mebawaku  kembali mengingat seseorang yang kurindu.

Lagu itu temani jiwaku yang sepi, sesaat di dada ini terasa sesak ketika mendengar bait-bait dari setiap kalimat dalam alunan melodi yang terdengar. Symponi itu terus mengalun dengan mempesona. Seketika aku terdiam membisu mengingatnya. Lirih angin menerobos masuk dari celah jendela bertiup melewati fentilasi udara ke dalam ruangan sempit ini. Menyentuh kulit lenganku yang tak terbungkus selimut.

Aku lirik jendela terlihat hujan masih saja turun tanpa mengurangi ritmenya, dari balik jendela terlihat butiran-butiran air hujan melekat, mengalir di kaca jendela. Hujan yang dari tadi bergemuruh semakin lama semakin kencang terdengar, sesaat redup lalu kembali bergemuruh. Kerinduanku mengalir bersama air hujan, "ku titipkan rinduku untuknya” kata dari hatiku di keheningan. Tubuhku terasa hangat di balik selimut, sementara di sisi lain ku nikmati dingin yang menusuk kalbu.

Sekali lagi aku berjalan ke arah jendela, hujan serasa membangkitkan segala kenangan bersamanya. Sengaja kutiup sisi jendela dengan nafasku perlahan, membiarkan membentuk uap yang akan muncul di kaca jendela, ia kembali muncul dalam lamunanku, bayanganya berada dalam fikiranku, tanganku menggoreskan ke kaca jendela menuliskan satu kata di tengah uap yang kuhembuskan tadi. Kata yang mewakili perasaanku saat ini, perlahan tulisan itu memudar lalu menghilang. Sekali lagi kutiup kaca kali ini bukan kata yang aku torehkan melainkan gambar hati di tengah uap itu. Ku pandangi sejenak gambar itu sebelum mulai menghilang seperti yang sebelumnya.

Aku pandangi titik-titik hujan yang jatuh, sepertinya hujan bisa membaca pikiranku menyelam ke dasar hatiku bahwa sesungguhnya ada rindu di tengah derasnya rintikan air hujan. Di hadapan hujan aku terlihat lemah yang hanya mampu menunggu dari balik jendela, berteriak untuk menyampaikan salam rinduku, mengadu agar hujan membawanya kemari di sini bersamaku menikmati rintik hujan..

Hujan bagai menghipnotisku meletakkan rindu di ubun-ubun membisikkan nyanyian rindu darinya lewat penggalan-penggalan kisah yang telalu lalu juga menghapus rasa rinduku. Sepi ini setia menemaniku dalam kerinduan hatiku. Rindu yang tak pernah pupus, rindu menjadi jarak dalam jengkal tangan yang tak tersentuh.