Setelah beberapa menit melaju diantara kepadatan lalu lintas yang saling mendahului akhirnya sampai juga di kelenteng Sam Po Kong (bangku merah) aku menyarankan untuk parkir di parkiran kelenteng saja, memang akan di hadang-hadangi oleh pemuda yang menjaga parkir liar disana namun lebih aman jika parkir di dekat kelenteng. Benar saja memasuki parkiran di semprit untuk parkir di dekat pagar sebekah kiri namun karena tidak ada yang menghalangi di tengah jalan aku suruh yongsa untuk jalan terus karena akan diarahkan untuk parkir ke parkir umum. Aku menyuruh Yongsa untuk terus maju tanpa menengok, bahkan ketika ada orang yang mengatakan jika dipanggil tetap saja tak aku hiraukan karena itu panggilan dari pengelola parkir umum agar berbalik dan parkir disana. Aku ga mau dan menyuruh yongsa untuk cepat bergerak, agar ga disamperi mereka. Aku melihat pak Joko sedang berjaga disana, beliau tersenyum dan memberikan tanda ketika melihatku.
Setelah membeli karcis kami berdua pun masuk, aku menawarkan kepada yongsa ingin langsung sholat atau mau duduk dulu sebentar, yongsa meminta untuk duduk sebentar dan kami pun duduk di bangku paling depan. Aku menunjukkan patung besar juga kuil, menceritakan pengalamanku disini, dan bertanya yang dirasakan disini dan yang dilihatnya tentang tempat ini. Sambil duduk santai ngadem dibawah rindangnya pohon kami bercerita dan bercanda. I like it...
Setelah beberapa saat duduk, kami pun beranjak untuk sholat di musholat yang tersedia di tempat ini. Disana aku ketemu dengan bu Nur dan bu Sri memperkenalkan beliau dengan yongsa dan berbincang sebentar sambil menunggu sedikit kosong, karena di dalam masih penuh orang sholat. Tak lama kami berbincang dan sholat, kami pun undur diri kepada bu Nur dan Bu Sri untuk masuk. Sebelum masuk membeli dupa terlebih dahulu lalu berjalan ke arah patung besar untuk memberi salam kepada panglima besar Cheng ho barudeh kita bejalan masuk ke area klenteng, berdoa di setiap klenteng juga membakar dupa.
Walaupun kami membakar dupa dan berdoa di kuil namun kami tetap berdoa sesuai keyakinan agama yang kami anut, tak ada penyelewengan. Para juru kunci disana pun juga mengarahkannya seperti itu, berdoa/meminta sesuai keyakinan masing-masing. kami berdoa berdampingan dan bareng.
Di dalam kami berdoa dan membakar dupa di setiap klenteng. Di klenteng kedua setelah berdoa aku sempat berbincang dengan yang jaga, beliau mengenali aku yang memberi mukena atas petunjuk eyang Sampoo (panggilan Panglima Beras Cheng Ho oleh pegawai disana). Penjaga itu mengatakan jika sebelumnya sewaktu tidur di mushola ia bermimpi di kasih tau nanti ada yang ngasih mukena menyuruh untuk menerimanya. Dalam mimpi itu, penjaga juga di kasih tau ciri-ciri mukena dari warna sampai motif mukena juga orang yang memberikan mukena tersebut, dan orang itu aku. Penjaga itu juga sempat mempertanyakan yongsa, karena tumben-tumbenan aku datang berdua biasanya tiap kesini selalu sendirian. Beliau juga mengatakan jika yongsa pandangannya kosong. aku juga meng-iya-kan karena memang begitu adanya. Selama mengobrol dengan penjaganya aku melihat yongsa duduk di kursi pandangannya menyapu kesegala arah.
Setelah beberapa saat aku berbincang dengan penjaga di kelenteng itu, kasihan juga melihat Yongsa yang mengunggu termenung seperti orang bingung sendirian. aku pun undur diri dan melanjutkan ke kelenteng yang lain. Setelah berdoa di semua klenteng dan tidak menemukan penjaga yang biasa aku ajak bicara maka kita meneruskan untuk langsung masuk ke goa yang di atas. Disana kita khusuk berdoa dengan suasana tenang dan damai. Setelah dari sana kita menuju ke goa bawah, namun tidak lama karena hari juga sudah mulai petang dan sebelum pulang kita menuju patung besar untuk berpamitan kepada laksamana Cheng Ho lalu sholat sekalian karena takut ga keburu karena magrib waktunya pendek.
Aku menganggap bangku merah seperti rumah sendiri, dan kali ini aku datang bersama yongsa seperti membawa dan memperkenalkan mereka kepada yongsa. Sepertinya yongsa diterima ditempat ini, karena yongsa santai dan mau masuk ke dalam bahkan merasakan nyaman saat berada di tempat ini. Inilah awal perkenalan ku dengan yongsa dan memperkenalkan beliau kepada yongsa langsung.
Tujan awal sudah di terlaksana dan mengingat waktu sudah malam maka aku pun mengajak yongsa untuk pulang. Di parkiran aku ketemu pak Joko, aku berbincang sebentar dengan beliau dan menceritakan juga tentang aku yang mengajak yongsa kesini juga tentang keinginan ke kota Demak dengan yongsa. Pak Joko yang mendengar ceritaku sepertinya memahami, malah menyuruhku untuk menjalankannya. Ini bukan tentang kemusrikan namun sebuah desakan untuk membuat hati lega.
Ketika berbincang dengan pak Joko sesekali aku melihat ke arah yongsa, ia berjalan di sekitaran tempat itu. Entah apa yang yongsa pikirkan karena aku melihatnya benar-benar kosong. Antara ga enak dan bingung harus gimana mendengar adzan isya aku pun undur diri untuk mengantar yongsa pulang. (10/10/15)
★Ell