7/30/2015

Perjalanan Tujuh Hari


Ada apa sebenarnya dengan diriku desakan atau tarikan untuk pergi ke bangku merah (Kelenteng Sam Po Kong) semakin kuat aku rasakan. Hampir bisa dipastikan setiap seminggu sekali diwaktu sabtu atau minggu menyempatkan untuk datang kesana, bisa juga sabtu dan minggu aku habiskan soreku disana bahkan pernah juga ketika masuk pagi setiap pulang kerja selalu mampir kesana. Ada apa disana sehingga tak pernah ada kata bosan untuk mendatanginya bahkan tak jarang selalu ada kegelisahan di dalam hati yang aku rasakan ketika dorongan untuk datang ke bangku merah tak aku indahkan.

Seperti pada saat lebaran kedua (sabtu) yang lalu sebenarnya sore aku disuruh kesana namun karena malas, dan keinginan untuk tidur siang begitu besar sehingga aku mengabaikan suara hati yang menyuruhku kesana. Waktu itu aku sempat berbincang dengan hati dan meminta untuk di undur saja untuk datang ke bangku merah karena sabtu ini aku ingin bersih-bersih rumah  terutama kamarku, ingin sedikit mengubah posisi tempat tidur dan beberapa barang agar mendapatkan suasana berbeda lagian juga masih suasana lebaran masih ada beberapa orang yang datang ke rumah untuk silaturahmi dengan keluargaku. Dan setelah berbicara dengan suara hati, menggunakan sedikit penawaran juga alasan yang sepertinya bisa dimaklumi akhirnya sepakat aku kesana hari minggu. Namun berhubung malas lebih dominan sehingga yang sudah aku rencanakan untuk bersih-bersih dan menata ulang kamar terabaikan, hanya mengganti letak tempat tidur saja yang sudah aku kerjakan dari semua daftar yang sebenarnya sudah tersusun rapi di otakku.

Hari berikutnya (minggu), dari pagi sudah menyusun rencana untuk acara hari ini, aku akan melakukan pekerjaan rumah lebih awal dari jam biasanya agar selesainya juga lebih cepat, rencana berangkat ke bangku merah jam 4 biar ga begitu malam pulang dari sana. Rencana tinggal rencana, siang itu berhubung cuaca sangat panas membuat keinginan untuk membuat segelas es sirup untuk menghilangkan dahaga yang tak kunjung hilang meskipun sudah banyak minum, namun karena aku ga terbiasa minum es sehingga habis minum tak berapa lama kepala langsung pusing. Melihat ke arah jam dinding menunjuk ke 14:28 masih ada waktu mungkin tidur sebentar bisa menghilangkan pusing, bangun jam empat beres-beres dan berangkat, ke bangku merah setengah limaan saja. Dan tak berapa lama mata ini pun terpejam, entah karena lelah atau karena rasa sakit yang membuaiku hingga terlelap kedalam mimpi.

Apa yang sudah diniatkan akan mendapat jalan untuk menjalankannya, karena diniati untuk bangun jam 4 ketika terbangun benar saja melihat jarum jam menunjuk ke angka empat meskipun sedikit lewat. Namun masih ngantuk dan kepala juga masih terasa sakit. Sekali lagi berbincang dengan hati meminta untuk kali ini membebaskanku untuk tak datang ke bangku merah diganti besok senin, kebetulan seminggu itu aku mendapat jatah masuk pagi jadi pulang kerja bisa langsung ke bangku merah. Dengan sedikit berat hati dan kecewa sepertinya beliau memberi toleransi kepadaku. Kali ini pun aku terbebas, dua minggu sudah aku tak menuruti panggilan datang ke bangku merah. Aku pun melanjutkan tidur dan melupakan tugas rumah yang harusnya diselesaikan. Biarlah masih ada adek perempuanku, tentunya jam segini juga sudah beres semua. Rasa sakit kepala juga badan yang menggigil, sepertinya aku beneran sakit. Ingin tidur tapi mata sudah kenyang sengan mimpi sesaat sehingga hanya mencoba memejamkan mata untuk menghalau rasa sakit di kepala.

Senin itu pun gagal, selalu ada nego untuk mengundurkan tarikan ke bangku merah. Seminggu itu aku sakit, setiap pulang kerja langsung pulang dan tidur hingga sore bahkan sampai malam menjelang. Mungkin itu juga yang membuat beliau marah denganku yang tak bisa menepati janji, hanya mengulur-ulur waktu padahal sudah ada kesepakatan. Namun itu juga bukan kemauanku karena sakit kepala dan demam ini sedikit banyak mengganggu buatku. Ingin sekali ke bangku merah namun disana juga bingung mau ngapain ditambah kepala yang sangat berat dan nyut-nyutan bukannya malah membuatku ga tenang saat berada di deretan bangku merah itu. Maaf untuk janji yang belum bisa aku laksanakan.

Genap 3 minggu tak satu pun kulewatkan senja di bangku merah. Desakan untuk kesana dan suara hati yang marah kepadaku membuat gamang, perasaan resah dan gelisah membuat otakku semakin ga karuan. Antara rasa sakit san kebimbangan yang tak tau harus bagaimana, apa yang aku pikirkan juga berderet rencana yang telah lalu masih menyumpal memenuhi otakku. Aku harus bagaimana, apa yang harus aku lakukan...?!
Sementara badan masih lemas karena sakit, dan ketika meminta ijin kepada ibu untuk pergi sebentar (ke bangku merah) tak di ijinkan. Aku harus istirahat, apa lagi esok hari kami sekeluarga akan ada perjalanan jauh ke tempat kelahiran ibu karena adik tirinya mantu. Ya memang badanku saat itu begitu lemas, mungkinkarena habis sakit sehingga tenagaku belum sepenuhnya pulih.

Namun bagaimana dengan perasaanku, kebimbangan dan kegelisahan yang memenuhi rongga dadaku aku tak bisa menahannya, terlebih sudah tak bisa untuk mengelak dan desakan hebat yang mengharuskanku datang ke bangku merah. Suara hati sudah tidak memberi pengecualian. "Hari ini harus datang" suara itu terlalu lantang dan tegas, dengan nada datar sedikit meninggi. Aku merasa suara hati (suara yang memanggilku untuk datang ke bangku merah) marah dan seakan sudah tak peduli lagi denganku.

Gamang, kegelisahan yang merasuki hati dan pikiranku itu membuatku bingung ga ngerti harus bagaimana dan jujur aku sudah ga bisa berpikir lagi terlebih ketika ada larangan dari ibu untuk tidak kemana-mana itu seperti berada dipersimpangan, disatu sisi ingin kesana tapi disisi lainnya sakit ini membuat badanku cepat lelah untuk bergerak. Pikiranku blank sudah ga ngerti deh bagaimananya, harus mengikuti yang mana. Dari siang mata ini suka menatap pada deretan angka dengan denting yang mengikuti di belakangnya.

Waktu yang berlalu membuat detak jantung semakin bergemuruh, kegelisahan ini semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya aku menyerah. Memilih untuk datang ke bangku merah, terlalu sakit untuk merasakan gemuruh kegelisahan yang ada di dada, terlebih ini sudah kesekian kalinya aku mangkir dari undangan ke bangku merah. Suara hatiku sudah terlampau sabar, jika hari ini tidak datang maka ga tau lagi bagaimana cara bila beliau sudah marah dan mendiamkanku. "Mending berangkat hari ini, bukannya besok ada acara ke luar kota dan dua minggu setelahnya kerja yang ga bisa bila senjamu dihabiskan di bangku merah" kira-kira seperti itulah pengertian yang diberikan suara hati padaku.

Jam 5 teng aku berangkat menuju bangku merah, berpamitan dengan ibu. Ga tau lah ibu marah apa enggak urusan nanti, andai di marahi biar saja nanti ketika pulang dari sana. Semua seperti dipermudah, selama perjalanan ga terkena lampu merah ya walau kadang harus melambat namun tidak untuk berhenti. Perjalanan lancar saja hingga sampai ke bangku merah. Duduk manis tepat di bangku tengah lurus dengan patung yang ada di lapangan, "aku sudah sampai disini, apa sebenarnya yang ingin engkau tunjukkan padaku. Aku siap" gumamku darri dalam hati sambil memejamkan mata.

Aku kesini sebenarnya juga ingin bertemu dengan sosok yang menyapaku tempo hari, ingin berinteraksi dengan beliau namun ga bisa konsen disana aku hanya duduk mendengarkan mp3 sambil menuangkan kegalauanku saat itu dengan rentetan kata tapi tak bisa, kata-kata yang sudah berbaris rapi di pikiranku tak mau keluar dari sangkarnya. Patung besar itu menarik perhatianku, selama duduk di bangku merah hanya patung besar itu yang menyita perhatianku ya walaupun sesekali juga melihat pengunjung lain yang berada disana namun selalu saja kembali ke patung besar.

Tempat ini selalu menarikku untuk kembali dan kembali, dan itu juga di waktu sore menjelang seakan disinilah tempat yang paling pas untuk menikmati senja yang merona. Tak tau siapa yang mengundangku dan siapa yang menarikku ke bangku merah ini. Namun yang aku paham dan yakini bahwa duduk di bangku merah ini membuat pikiranku tenang, nyaman dan segala pengat yang memenuhi otakku seketika hilang.

Aku ingin tau apa gerangan yang terjadi denganku, ada kaitan apa aku dengan tempat ini. Mengapa terlalu kuat menarikku untuk datang, tempat ini selalu saja membayang-bayangi pikiranku. Itulah alasan mengapa aku selalu datang kesini, selain ingin mencari ketenangan jug penasaran ingin tau ada apa gerangan antara aku dan bangunan merah ini.

Perlahan senja mulai samar digantikan malam. Satu lagi keunikan dari suara hati yang memanggilku datang ke tempat ini, selain datang yang sebaiknya di waktu sore lalu pulang juga seperti sudah di tentukan jamnya yaitu setelah adzan magrib seperti di suruh pulang. Kali ini pun begitu setelah adzan magrib aku pun bersiap meninggalkan tempat ini, namun sebelum pulang ada sesuatu yang harus aku lakukan di tempat ini yaitu sholat magrib. Selama kesini aku belum pernah sholat di tempat ini "ya seperti ada yang berbisik "sebaiknya sebelum pulang sholat dulu disini" namun aku tak pernah menurutinya. Aku memilih bergegas pulang dan sholat di rumah, dengan alasan klise sebenarnya ga bawa mukena karena aku ga mau memakai mukena yang ada disana. Itu cuma saran dari suara hati saja. Perjalanan pulang pun bisa dibilang lancar dan dampai di rumah ketika ketemu ibu aku mendapat teguran "sudah lega bisa pergi, masih sakit tetap saja nekat pergi..." , aku ga menanggapi apa yang ibu katakan karena aku sadar aku salah. Tapi perkataan ibu ada benarnya juga, sekarang hatiku sedikit lega sudah ga bergemuruh seperti sebelhm-sebelumnya.

Namun ada satu masalah sepertinya suara hatiku masih marah dengan penolakanku untuk kesana tempo hari. Aku merasakannya...., karena itu lah aku bertanya apa gerangan yang bisa aku lakukan untuk dimaafkan, agar beliau ga marah lagi. Tapi ga ada jawab, hanya diam membisu. Ya sudah mungkin beliau masih marah denganku, pikirku nanti saja minta maafnya sekarang biarkan saja seperti ini.

"Apa yang bisa lakukan untuk mendapatkaa maaf, agar tak ada marah di antara kita..." kalimat itu sering aku ucapkan dikala sendiri, ketika berbincang dengan hati. Meskipun sering mendapat penolakan tapi suatu ketika dijawab juga "kamu harus kesana berturut-turut selama satu minggu ".
Ya karena suara hati sangat memahami dan mengerti aku. Untuk mendapatkan maaf ketika masuk pagi sepulang kerja aku harus mendatangi bangku merah, dan aku pun menyetujuinnya. Entahlah apa yang membuat begitu saja setuju saat itu yang ada di pikiranku 'aku ga mau mengecewakan, dan aku harus menebus kesalahanku tempo hari yang sudah berkali-kali mangkir dari kesepakatan yang sudah terjadi. Deal"

Setelah kesepakatan itu rasa bersalahku sedikit berkurang, dan weekend ya tepatnya sabtu aku balik kesana. Ingin dengan tujuan yang masih sama yaitu ingin tau apa sebenarnya alasan tempat itu terlalu kuat menarikku juga ingin sekali bertemu dengan 'sosok' yang menyapaku tempo hari. Aku ingin bisa berinteraksi dengan beliau, pernah aku bercerita pada teman tentang kejadian dimana waktu disana seperti ada seseorang yang menyapaku namun, beliau suka berada di belakangku yang terkadang mengagetkanku atau sekedar mencuri lihat apa yang aku tulis. Tapi jawabnya tetap sama, aku ga menemukan apa yang mengobati rasa penasaranku padahal setiap ke bangku merah aku selalu mengatakan bahwa aku siap untuk semua yang akan engkau perlihatkan padaku meskipun sebenarnya hati mulai dag dig dug ga karuan, malah kadar penasaranku semakin bertambah denga patung juga bagunan yang paling besar diantara deret bangunan yang lain. Untuk mengobati rasa kecewa mencoba untuk membesarkan hatiku sendiri dengan mengatakan "suatu hari nanti semua akan terjawab, sekarang waktunya belum tepat untuk mengetahui tabir misteri dari semuanya ini. (29/7)



★Ell